Tak berlebihan bila dikatakan, hal itu merupakan bentuk respons dari audience strikes back pada era media sosial seperti sekarang ketika audiens tidak lagi tampil semata-mata sebagai sasaran pesan, ia pun bisa memproduksi pesan yang lain. Bahkan, pesan yang dibuatnya sangat subversif dengan pesan awal yang mau disampaikan. Perangkat pembuat pesan dan keahlian mengemas pesan memang tak lagi monopoli orang-orang media.
Kita tak tahu berapa lama lagi perseteruan ini akan berakhir, dan bagaimana akhir kisah ini se- belum tergeser dengan pemberitaan heboh lainnya. Yang pasti, gejala ini dalam bahasa kelompok Project Censored pimpinan Peter Phillips dari Sonoma State University, AS, sudah masuk kategori junk food news, berita yang diekspos berlebihan oleh media, tetapi sangat kecil urusannya dengan kepentingan publik (projectcensored.org).
Media, dalam menghadapi situasi seperti ini, terlihat gamang. Meski sadar urusan ini tak ada kaitan apa pun dengan kepentingan publik, soal seperti ini mengundang banyak orang untuk menonton (mempertinggi peringkat) atau mengundang banyak orang mengkliknya secara online (klik inilah yang menghasilkan penghasilan iklan bagi media daring), pun menjual puluhan hingga ratusan ribu eksemplar tabloid. Apakah media akan berubah atau tidak, keputusan akan datang dari para pengelola media itu sendiri.
Syukurlah, audiens memiliki perangkat, cara, dan ekspresi untuk menunjukkan bahwa merekalah yang aktif mendekonstruksikan makna perseteruan itu. Ini juga menunjukkan, audiens bisa berdaulat dengan membaca pesan-pesan tersebut secara terbalik. Perlawanan seperti ini tidak akan pernah berakhir selama isi media dipenuhi dengan sampah dan sedikit bermakna bagi kepentingan publik.