Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nuklir Korea, Indonesia, dan ASEAN

Kompas.com - 19/02/2013, 02:40 WIB

Sikap seperti itu bisa juga dimaknai sebagai suatu pilihan yang realistis mengingat PEP, dibentuk sejak 2003 dan telah melaksanakan rangkaian pertemuan, hingga kini belum berhasil mengubah kebijakan nuklir Korea Utara. Itu juga yang menyebabkan gagasan melibatkan ASEAN dalam PEP dan mengubahnya menjadi ”Pertemuan Tujuh Pihak” tidak pernah dipandang oleh ASEAN sebagai gagasan kebijakan alternatif yang serius.

Ketiga, Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Korea Utara, pun dengan Korea Selatan. Baik melalui perdagangan, investasi, dan kerja sama teknologi, Korea Selatan telah menjadi salah satu mitra ekonomi utama Indonesia.

Di sisi lain, walau secara ekonomi bukan merupakan mitra penting bagi Indonesia, hubungan baik Jakarta dan Pyongyang adalah salah satu tonggak dalam perjalanan sejarah politik luar negeri Indonesia hingga sekarang.

Walau dalam skala kecil, patut kiranya dicatat bahwa Indonesia mendapatkan pasokan senjata dari Korea Utara pada awal 2000-an ketika negara maju masih melakukan embargo persenjataan terhadap Indonesia. Karena itu, pilihan menekankan pada mekanisme dialog adalah logis, yaitu dalam upaya untuk menjaga hubungan bilateral yang baik antara Jakarta dengan Seoul dan Jakarta dengan Pyongyang.

Keempat, menjaga hubungan baik dengan kedua negara ini juga merefleksikan ketidakinginan Indonesia mencampuradukkan isu nuklir Korea Utara dengan isu lainnya, terutama HAM dan bantuan kemanusiaan. Bagi Indonesia, dua isu ini harus diperlakukan secara berbeda. Dalam isu HAM, misalnya, terdapat keengganan Indonesia mengecam pernyataan Dewan HAM PBB tentang pelanggaran HAM di Korea Utara.

Perlu pula dicatat bahwa Indonesia terus-menerus menunjukkan komitmennya mengirimkan bantuan pangan untuk alasan kemanusiaan ke Korea Utara. Sementara itu, untuk isu nuklir, Indonesia memang mengecam Korea Utara karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat mempromosikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir (SEANWFZ). Indonesia tampaknya berpandangan bahwa proliferasi horizontal senjata nuklir akan terjadi di kawasan Timur jauh dan Asia Tenggara sebagai akibat dari kebijakan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara.

Belum maksimal

Walau rasional, tanggapan diplomatik Indonesia tidak bisa lalu dikatakan telah maksimal. Persoalannya: pendekatan seperti ini, yang terlalu menekankan pada mekanisme dialog, dapat mendorong Indonesia dan ASEAN tidak memiliki cetak biru untuk kebijakan strategis seandainya krisis nuklir Korea Utara itu tidak dapat dikendalikan.

Tidak tampak beragam skenario seperti rencana A, rencana B, atau rencana C yang kemungkinan muncul jika krisis nuklir Korea berubah menjadi tidak terkendalikan. Karena itu, selain mengambil inisiatif diplomatik—yaitu dengan cara memperbesar gaung pernyataan keprihatinan, kecaman, pun mengusulkan mekanisme dialog ke tataran regional dan internasional—Indonesia tampaknya perlu meluncurkan suatu kebijakan diplomatik khusus dalam situasi krisis.

Inti kebijakan diplomatik dalam situasi krisis ini teletak pada pembangunan beragam skenario seandainya krisis nuklir Korea tidak lagi dapat dikendalikan. Alasannya sangat sederhana. Implikasi dari krisis yang tidak terkendalikan di jazirah Korea akan sangat memengaruhi ekonomi Indonesia.

Tidak hanya karena perairan di wilayah Korea itu menjadi bagian integral dari sea lanes of communications yang penting ke Asia Tenggara, tetapi juga karena Jepang, Korea Selatan, dan China kini merupakan mitra utama ekonomi Indonesia.

MAKMUR KELIAT Pengajar Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com