JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah menyusun aturan tentang gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual. Kalau perlu, aturan itu bahkan perlu dibuat dalam bentuk undang-undang.
"KPK fokus saja pada tindakan korupsi. Gratifikasi seksual harus diatur dalam undang-undang, tidak bisa diatur di KPK," ujar anggota Komisi VIII dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, di Jakarta, Kamis (10/1/2013).
Nasir mengatakan, usulan itu bisa langsung diajukan ke DPR, tetapi pembahasannya nanti akan menjadi kewenangan DPR dan pemerintah. "Kalau penting, silakan dimasukkan biar saja diatur tindakan pidana umum, bisa di wilayah umum tidak masuk korupsi," kata Nasir.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa juga mendukung ide aturan gratifikasi seks. Namun, Saan melihat yang terpenting adalah penjabaran kategori gratifikasi seks.
"Sebagai upaya untuk menjaga agar para pejabat clear dalam arti tidak terpengaruh soal apa pun dalam menjalankan tugasnya, bisa saja dipikirkan soal itu. Sebagai ide enggak ada masalah, yang penting harus jelas operasionalnya dijabarkan," kata Saan.
Ketua DPR Marzuki Alie mendukung hal serupa. Senada dengan Saan, Marzuki meminta aturan itu nantinya perlu dijabarkan lantaran gratifikasi seks masuk dalam kategori kesenangan yang multiinterpretasi. Namun, Marzuki mengaku heran tiba-tiba ide itu dilontarkan KPK.
"Saya bingung apakah sudah bejatnya moral negara ini. Saya rasa, sih, yang sekarang tidak sebejat dulu," ujar Marzuki.
KPK bahas gratifikasi seks
Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyusun aturan mengenai pemberian gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual. Wakil Ketua KPK Adnan Pandupraja mengatakan, sejauh ini belum ada aturan yang jelas mengenai batasan gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual tersebut.
"Walaupun sebenarnya menurut rekomendasi dari UNCAC terhadap pasal gratifikasi mesti lebih disempurnakan. Ke depan, kami akan membuat detail semua agar lebih mudah dipahami," kata Adnan di Jakarta, Selasa (8/1/2013).
Menurut Adnan, beberapa instansi masih ragu apakah pelayanan seksual ini dapat digolongkan sebagai jenis gratifikasi atau bukan. Masalahnya, kata Adnan, ada batasan rupiah pada pengertian gratifikasi yang diatur dalam undang-undang.
Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono menambahkan, pemberian berupa pelayanan seksual sebenarnya dapat digolongkan sebagai gratifikasi. Dalam undang-undang, lanjutnya, gratifikasi tidak harus dalam bentuk uang tunai, tetapi juga dalam bentuk lain seperti potongan harga ataupun kesenangan.
"Memang pembuktiannya tidak mudah. Jadi, ini jatuhnya ke case building (pembangunan kerangka kasus) karena itu harus dibuktikan," katanya.
Meskipun demikian, lanjut Giri, Indonesia dapat belajar dari Singapura yang mulai menerapkan hukuman untuk pemberian gratifikasi berupa pelayanan seks.
Sejauh ini, belum ada kasus gratifikasi seks yang ditangani KPK. Berdasarkan pemberitaan Kompas, dalam kasus dugaan suap proyek pembangkit listrik tenaga uap dengan tersangka Emir Moies, diduga ada uang yang mengalir untuk pembayaran jasa hiburan khusus laki-laki dewasa di Paris, Perancis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.