Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalinya Pamor Amerika Latin?

Kompas.com - 20/12/2012, 05:06 WIB

Oleh ADI PRINANTYO

Trofi Piala Dunia Antarklub kembali ke genggaman klub asal Amerika Selatan setelah tim Brasil, Corinthians, melibas wakil Eropa, Chelsea, pada final di Yokohama, Jepang, Minggu (16/12). Gol tunggal Jose Paolo Guerrero membenamkan ambisi ”The Blues” untuk meraih gelar pertama tahun ini setelah trofi Liga Champions.

Ini kejayaan Amerika Latin di level klub untuk pertama kali setelah perhelatan 2007. Sejak 2007 hingga 2011, takhta tertinggi antarklub dunia berada di Eropa, dengan tim kampiun berturut-turut adalah AC Milan, Manchester United, Barcelona, Inter Milan, dan kembali lagi ke Barcelona.

   Lima tahun kemenangan Eropa itu menjadi penantian lama klub-klub Amerika Latin. Apalagi, pada final 2011, klub Brasil, Santos, tumpul di hadapan raksasa Spanyol, Barcelona. Santos yang diperkuat bintang yang digadang-gadang Brasil, Neymar, takluk 0-4. Dua dari empat gol Barca dicetak Lionel Messi, yang dengan kedua gol itu melenyapkan kebintangan Neymar.

Kegagalan Amerika Latin, kawasan di mana ada negara-negara elite sepak bola dunia, seperti Brasil, Argentina, dan Uruguay, makin nyata dengan kegagalan di Piala Dunia antarnegara. Pada Piala Dunia Jerman 2006, Italia tampil sebagai kampiun. Di Afrika Selatan 2010, giliran Spanyol juara.

Pada perhelatan 2010, pencapaian terbaik tim Amerika Latin dicatat oleh Uruguay, yang mencapai semifinal sebelum diempaskan Belanda, 2-3. Tiga tim lainnya, Argentina, Brasil, dan Paraguay, terhenti di perempat final.

Insiden Sao Januario

Ketertinggalan klub-klub Amerika Latin dari klub Eropa terkait dengan keterlambatan mereka mempraktikkan manajemen profesional. Buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, karya Franklin Foer, banyak mengungkap bagaimana bobroknya pengelolaan klub-klub Amerika Latin.

Disebutkan, pejabat eksekutif klub Vasco da Gama, Brasil, bernama Eurico Miranda menghambur-hamburkan uang investasi Bank of America untuk Vasco. Miranda pun membawa Vasco ke jeratan utang dan prestasi serba tanggung.

Karena itu, setelah pada 1998 mereka menjuarai Copa Libertadores, hanya dalam tempo tiga tahun sesudahnya, klub itu berutang kepada salah satu bintang mereka, Romario, karena menunggak gaji sekian lama. Tak tanggung-tanggung, utang klub itu kepada Romario mencapai 6,6 juta dollar AS atau sekitar Rp 63,6 miliar.

Lebih buruk dari itu, seperti ditulis Foer, demi menjaga agar pemain lain tetap mau bertanding, Romario mengatakan, ia harus menutupi gaji mingguan kawan setimnya dari rekeningnya.

Karena butuh dana tambahan, Vasco pun menampung lebih banyak penonton di Stadion Sao Januario pada laga-laga penting. Pada laga terakhir tahun 2000, misalnya, manajemen Vasco menjejalkan 12.000 penonton lebih setelah kapasitas tempat duduk sebanyak 24.584 kursi terisi.

Saat keributan pecah di tribune, penonton mulai menyelamatkan diri dan berjatuhan saling menimpa. Mereka terdorong hingga jatuh dan penonton terdepan tertahan hanya oleh pagar berkarat, hingga pagar itu roboh, lalu massa terempas ke lapangan. Korban total 168 orang. Yang mengherankan, walau korban sudah banyak dan berdarah-darah, Miranda berkeras laga dilanjutkan.

Ketertinggalan klub Amerika Latin juga terpotret dari bagaimana mereka gagal merekrut bakat-bakat terbaik di kawasan mereka. Lihat saja bagaimana klub besar Argentina, River Plate, gagal merekrut Lionel Messi gara-gara kalah bersaing dari Barcelona. Messi yang lahir di kota Rosario, Argentina, dilirik River Plate dan Barcelona sejak ia berusia 11 tahun.

Namun, ada kendala yang harus diatasi, yakni tubuh Messi yang menderita defisiensi hormon pertumbuhan. Untuk penyembuhan, perlu dana sekitar 900 dollar AS per bulan atau berkisar Rp 8,7 juta. River Plate menyerah.

Direktur Keolahragaan Barcelona Carles Rexach menyanggupi pembiayaan itu. Barca menawari pendanaan seluruh biaya pengobatan jika Messi mau hijrah ke Spanyol. Messi dan sang ayah, Jorge Horacio Messi, lalu pindah ke Barcelona, tempat pemain yang kini menjadi bintang dunia itu mendaftar di klub yunior Barca.

Berkaca dari kisah Messi, sungguh wajar jika bintang-bintang sepak bola Amerika Latin menjadikan Eropa sebagai tujuan puncak karier. Di Barcelona, selain ada Messi, juga terdapat beberapa pemain berdarah Amerika Latin, seperti Daniel Alves (Brasil), Javier Mascherano (Argentina), dan Alexis Sanchez (Cile). Di Real Madrid ada Angel Di Maria dan Gonzalo Higuain (Argentina) serta Kaka (Brasil). Belum lagi di Italia, Inggris, Jerman, Belanda, juga negara-negara Eropa lainnya.

Bintang-bintang itu akhirnya menjadikan tanah kelahiran mereka sebagai pelabuhan kedua setelah di Eropa karier mereka redup. Lihat saja mantan pengatur serangan tim Argentina, Juan Roman Riquelme, yang berlabuh ke klub Argentina, Boca Juniors, setelah gagal meraih tempat di Barcelona dan Villarreal. Juninho Pernambucano, spesialis eksekutor bola mati, juga ke Vasco da Gama, lalu ke New York Red Bulls (AS) setelah mandek di klub Perancis, Lyon.

Mungkinkah kejayaan Corinthians di Piala Dunia Antarklub 2012 layak dianggap sinyal kebangkitan Amerika Latin? Bisa jadi terlalu dini menganggap itu sebagai tanda kebangkitan. Faktor Chelsea yang sedang ”sakit” setelah pemecatan Pelatih Roberto Di Matteo sangat berpengaruh pada hasil final Piala Dunia Antarklub ini.

Amerika Latin rasanya tak bisa melulu asyik dengan talenta pemain mereka yang berkelas dunia, tetapi melupakan faktor-faktor manajemen profesional klub berikut tim nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com