Sebagaimana diberitakan, para aktivis Jaringan Pengendalian Dampak Tembakau Indonesia berencana menggugat Presiden karena tak kunjung menandatangani RPP Pengamanan Zat Adiktif Tembakau bagi Kesehatan. RPP itu amanat UU Kesehatan yang harus dikeluarkan setahun sejak undang-undang ditetapkan (Kompas, 19/12).
Masalahnya, RPP itu sejak Agustus 2012 terhenti di Kemenkeu. Selanjutnya, RPP diajukan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
Menanggapi hal itu, Kemenkeu melalui surat yang ditandatangani Kepala Biro Komuni-
Klausul ini dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dan pihak terkait.
”Menteri Keuangan memberikan masukan penyempurnaan RPP dengan surat kepada Menteri Sekretaris Negara, pada 26 November 2012,” tulis Yudi.
Kebijakan pengendalian konsumsi tembakau juga dilakukan melalui pengenaan cukai yang tiap tahun meningkat tarifnya.
Data yang diolah Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menunjukkan kenaikan tarif cukai tiap tahun. Sebagai contoh, tarif cukai rokok putih tahun 2011 sebesar Rp 325. Tahun 2012 naik menjadi Rp 365. Tahun 2013 akan menjadi Rp 380. Namun, kenaikan ini dinilai kecil dan tidak mampu mengendalikan konsumsi tembakau.
Dihubungi Rabu petang, Ketua Tobacco Control Support Center Kartono Mohamad mengatakan, pembahasan di Kemenkeu tak perlu selama itu. Ia berharap komitmen Kemenkeu untuk mengegolkan RPP Pengamanan Zat Adiktif Tembakau bagi Kesehatan diwujudkan secara konkret dan proses persetujuan tidak berlarut-larut.
”Perubahan seperti itu tidak perlu menunggu tiga bulan. Di kementerian lain hanya 2-3 minggu selesai,” katanya.
Widyastuti Surojo, anggota Jaringan Pengendalian Tembakau Indonesia, mengatakan, BPOM sudah bersedia mengubah pasal. Tidak lagi merekomendasikan penarikan produk kepada Kemenkeu. Penarikan akan dilakukan BPOM sendiri.