Jakarta, Kompas -
Pada konferensi 26 November 2012 mendatang itu, salah satu isu penting adalah melanjutkan komitmen Protokol Kyoto periode pertama yang selesai 2012. Periode kedua, 2013-2018 atau 2013-2020, serta komposisi komitmen pendanaan antarnegara maju seharusnya terjawab pada pertemuan tahunan itu.
”Pada COP-15 di Denmark, negara Annex 1 (negara maju) janji mengumpulkan dana perubahan iklim hingga 100 miliar dollar AS (Rp 950 triliun) hingga 2020,” kata Teguh Surya, aktivis Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF-CJ), Jumat (23/11), di Jakarta.
Diakuinya, komitmen ini sulit dipenuhi negara maju karena krisis ekonomi. Ia menduga negara-negara maju mengalihkan skema pada kerja sama bilateral yang berujung pasar karbon.
Mekanisme pasar karbon sangat lemah dan tak menjamin keuntungan bagi negara terdampak seperti Indonesia. Posisi negara pun lemah karena tergantung ekonomi pasar.
Siti Maemunah, juga dari CSF-CJ, menambahkan, delegasi Indonesia ke COP-18 harus berani menggalang dukungan negara berkembang lain untuk menuntut negara maju menetapkan penurunan emisi secara global. Posisi Indonesia dinilai terombang-ambing tanpa sikap tegas.
”Di lapangan, perubahan iklim menyengsarakan nelayan. Frekuensi melaut menurun, dari 240-300 hari per tahun jadi 160-180 hari per tahun karena seringnya cuaca ekstrem,” ucap Mida Saragih dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.