Mukdor mengatakan, proses ini telah dilakukan lebih dahulu oleh Taman Safari Bali. Metode pemanfaatan ini diperoleh setelah studi banding ke Thailand dan India.
Retno Sudarwati, dokter hewan gajah di TSI Cisarua, mengatakan, ke-45 ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) menghasilkan 2,5 ton kotoran. Kini yang bisa terkelola baru 100 kilogram per hari. Sebagian besar dimanfaatkan untuk pembuatan kompos yang dimulai sejak 1990.
”Dari 100 kilogram kotoran menghasilkan 4 kilogram serat kering. Dari 4 kilogram serat kering menghasilkan 210 lembar kertas ukuran 40 cm x 50 cm,” katanya. Kertas dari kotoran gajah ini sudah dimanfaatkan untuk buku, amplop, cetak foto, undangan, dan bingkai foto.
Jenis kertas lebih bagus dihasilkan oleh serat rumput gajah yang dihasilkan gajah. Ini melimpah saat musim hujan. Saat musim kemarau, rumput gajah susah didapat sehingga pakan menggunakan batang jagung.
Saat peresmian Safari Poo Paper, Balthasar Kambuaya mengatakan, daur ulang kotoran gajah sebagai kertas patut diapresiasi. ”Selama ini kertas diproduksi dari pohon, hutan kita. Jika kotoran gajah bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kertas, tentu ini sedikit banyak dapat mengurangi kerusakan hutan,” tuturnya.
Hingga kini, produksi kertas dari kotoran gajah ini masih sebatas untuk kebutuhan internal TSI. Bukan untuk dipasarkan.
Pada masa mendatang,
Meskipun skala kecil, upaya memanfaatkan kotoran fauna gajah sumatera yang dilindungi ini cukup menarik. Di alam liar, jumlah gajah sumatera diperkirakan tak lebih dari 3.000 ekor.