Dalam posisi seperti itulah sebetulnya AS dan Obama membutuhkan Indonesia. Tentu saja tidak dengan gratis. There is no free lunch in the world you have to pay for your lunch.
Perang teror yang dilatarbelakangi konflik Israel-Palestina harus dituntaskan dan diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Indonesia bisa menawarkan diri menjadi juru damai Israel-Palestina. Presiden Yudhoyono bisa mondar-mandir bertemu Israel, Hamas, Fatah, dan Obama.
Biaya perang teror dan derivatifnya di Afganistan, Irak, Libya, dan gejolak di Suriah memakan dana triliunan dollar AS. Kalau Indonesia dengan mengandalkan diplomasi soft power dan proaktif menerapkan amanat Pancasila, maka soft power geopolitik dan the largest Moslem Democracy nilainya setara dengan kemitraan strategis AS-RI untuk mendamaikan Timur Tengah. Juga mengawal perdamaian di Laut China Selatan.
Peluang geopolitik ini hanya bisa dinikmati oleh Presiden Indonesia, bukan oleh Vladimir Putin atau Xi Jinping. Momentum perdamaian Israel-Palestina diperkuat dengan terpilihnya kembali Obama. Jika ini tidak dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya nostalgia Barry si murid SD Besuki menjadi Presiden AS.
Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.