Jakarta, Kompas
Dalam rapat kerja antara Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, di Jakarta, Senin (22/10), disepakati pagu subsidi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp 193,81 triliun dengan kuota 46 juta kiloliter. Ini berarti turun Rp 22,96 triliun dibandingkan tahun ini yang alokasinya mencapai Rp 216,77 triliun dengan kuota 43,5 juta kiloliter.
Alokasi subsidi energi yang juga terdiri atas subsidi BBM pada tahun ini mencapai Rp 305,9 triliun atau 20 persen dari total belanja negara. Alokasi yang besar ini membuat banyak pihak menuntut agar anggaran subsidi ditekan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk transportasi massal di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Satya Widya Yudha, menyatakan, penurunan anggaran subsidi sebesar Rp 22,96 triliun itu karena perubahan asumsi harga ICP dari 105 dollar AS per barrel tahun 2012 menjadi 100 dollar AS per barrel tahun 2013.
Dari sisi kuota, konsumsi BBM bersubsidi tahun 2013 naik dibandingkan tahun 2012. Artinya, penurunan pagu anggaran subsidi BBM bukan karena penekanan kuota konsumsi, melainkan adanya penurunan asumsi harga.
”Ini yang mengkhawatirkan kalau sampai ternyata realisasi harga minyak dunia lebih besar dari asumsi ICP,” kata Satya. Beban subsidi BBM kian membengkak dan menjadi beban anggaran.
Oleh karena itu, ia melanjutkan, pemerintah diberi kewenangan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi agar subsidi tidak membengkak jika situasi mendesak. Persetujuan DPR hanya sebatas besaran subsidi.
Soal subsidi energi diatur dalam Pasal 8 Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2013. RUU APBN 2013 sedianya diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa pagi ini.
Sementara Ayat 10 RUU itu menyebutkan, belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi ekonomi makro, dan/atau perubahan parameter subsidi berdasarkan kemampuan keuangan negara.
”Dengan demikian, urusan kenaikan harga BBM akan menjadi domain pemerintah, tergantung keberanian Presiden,” kata Satya.