Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asumsi Harga Minyak Rawan Meleset

Kompas.com - 23/10/2012, 01:48 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat, asumsi harga jual minyak Indonesia (ICP) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 adalah 100 dollar AS per barrel. Persoalannya, asumsi ini mengambil batas harga psikologis pasar terendah sehingga rawan meleset di tengah krisis ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

Dalam rapat kerja antara Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, di Jakarta, Senin (22/10), disepakati pagu subsidi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp 193,81 triliun dengan kuota 46 juta kiloliter. Ini berarti turun Rp 22,96 triliun dibandingkan tahun ini yang alokasinya mencapai Rp 216,77 triliun dengan kuota 43,5 juta kiloliter.

Alokasi subsidi energi yang juga terdiri atas subsidi BBM pada tahun ini mencapai Rp 305,9 triliun atau 20 persen dari total belanja negara. Alokasi yang besar ini membuat banyak pihak menuntut agar anggaran subsidi ditekan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk transportasi massal di kota-kota besar, seperti Jakarta.

Anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Satya Widya Yudha, menyatakan, penurunan anggaran subsidi sebesar Rp 22,96 triliun itu karena perubahan asumsi harga ICP dari 105 dollar AS per barrel tahun 2012 menjadi 100 dollar AS per barrel tahun 2013.

Dari sisi kuota, konsumsi BBM bersubsidi tahun 2013 naik dibandingkan tahun 2012. Artinya, penurunan pagu anggaran subsidi BBM bukan karena penekanan kuota konsumsi, melainkan adanya penurunan asumsi harga.

”Ini yang mengkhawatirkan kalau sampai ternyata realisasi harga minyak dunia lebih besar dari asumsi ICP,” kata Satya. Beban subsidi BBM kian membengkak dan menjadi beban anggaran.

Oleh karena itu, ia melanjutkan, pemerintah diberi kewenangan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi agar subsidi tidak membengkak jika situasi mendesak. Persetujuan DPR hanya sebatas besaran subsidi.

Soal subsidi energi diatur dalam Pasal 8 Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2013. RUU APBN 2013 sedianya diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa pagi ini.

Sementara Ayat 10 RUU itu menyebutkan, belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi ekonomi makro, dan/atau perubahan parameter subsidi berdasarkan kemampuan keuangan negara.

”Dengan demikian, urusan kenaikan harga BBM akan menjadi domain pemerintah, tergantung keberanian Presiden,” kata Satya.

Berbagai pihak sejauh ini meminta pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dan dana penghematan dialihkan untuk sektor infrastruktur.

Pagu anggaran subsidi energi tahun depan ditetapkan Rp 274,74 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 193,80 triliun dan subsidi listrik Rp 80,93 triliun. Tahun ini subsidi energi Rp 305,9 triliun terdiri dari subsidi BBM Rp 216,77 triliun dan subsidi listrik Rp 89,1 triliun.

Tidak pasti

Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono menyatakan, asumsi harga jual minyak Indonesia 100 dollar AS per barrel sangat lemah dan rentan meleset. Alasannya, tahun depan kondisi perekonomian global masih penuh ketidakpastian.

Teorinya, harga ICP turun jika ekonomi memburuk. Artinya, turunnya asumsi ICP mengandaikan memburuknya perekonomian dunia. ”Pertanyaannya, apakah ekonomi dunia tahun depan akan memburuk atau stagnan atau membaik,” kata Tony.

Namun, lanjutnya, meski perekonomian dunia memburuk, harga minyak dunia juga tak serta-merta turun. Faktanya, harga minyak dunia saat ini juga dikendalikan oleh produsen besar.

Jika asumsi ICP meleset, Tony berpendapat, efeknya pasti akan membuat subsidi bengkak, minimal sama seperti tahun ini. Hal yang bisa dipastikan adalah konsumsi BBM akan terus melonjak karena ekonomi tumbuh.

Ekonom senior Bank Pembangunan Asia di Indonesia, Edimon Ginting, di Jakarta, menegaskan, kebijakan pemerintah dalam subsidi BBM memang tak pernah steril dari kepentingan politik. Apalagi pemilu legislatif dan presiden tahun 2014 kian dekat. Namun, pemerintah juga tak bisa terlalu naif mengacuhkan subsidi energi tahun ini yang sudah Rp 305,9 triliun atau 20 persen dari belanja negara.

”Hitung-hitungan politik memang berat, tetapi hitungan-hitungan ekonomi menunjukkan bahwa memang infrastruktur jauh lebih penting daripada subsidi,” ujar Edimon.

Dalam timbangan politik dan ekonomi sedemikian rupa, lanjutnya, pemerintah minimal harus memberikan sinyal keseriusan mengendalikan subsidi BBM. Ini bisa ditempuh dengan program mengerem subsidi yang secara politik bisa diterima masyarakat. Misalnya, dana penghematannya langsung direalokasikan ke pembangunan infrastruktur. (las/bay)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com