Sebagai pemimpin, sosok Sihanouk memang unik. Hidupnya sering dikaitkan dengan sosok negeri Kamboja, yang perjalanan sejarahnya penuh turbulensi. Begitu pula jejak langkah Sihanouk, yang diwarnai dengan langkah maju mundur, naik turun, dan pasang surut.
Sempat dituding (terutama oleh kaum muda di negerinya, yang tak terlalu mengenal dekat sepak terjangnya semasa ia memimpin dulu) sebagai salah satu sosok yang semestinya ikut bertanggung jawab saat negerinya mengalami tragedi: pembantaian massal oleh rezim Khmer Merah. Sekitar dua juta jiwa tewas oleh kekejian rezim saat negeri itu dipimpin rezim Maois ultraradikal pada 1975-1979. Pemerintahan Khmer Merah ketika itu membuat kota-kota Kamboja kosong serta rakyat kemudian memenuhi kamp-kamp kerja paksa.
Sihanouk, yang pernah menjalani status tahanan rumah di Istana Kerajaan saat Khmer Merah memerintah Kamboja, tetap dihormati oleh sebagian besar rakyatnya.
Setidaknya di dinding rumah orang-orang lama Kamboja, foto Sihanouk masih dipajang sebagai sosok mantan raja yang dihormati meskipun kini raja mereka adalah anak Sihanouk, Norodom Sihamoni. Dan pemerintahannya saat ini dipegang Perdana Menteri Hun Sen, sosok orang kuat Kamboja.
Sihanouk dituturkan sempat kehilangan lima dari 14 anaknya selama Khmer Merah memerintah Kamboja dengan tangan besi.
”Beliau menjadi pelaku sejarah pada masa kemerdekaan Kamboja pada 1950-an dan juga berperan dalam menjaga keutuhan Kamboja saat menghadapi permasalahan internal pada 1970-an,” kata Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam ucapan belasungkawanya yang disampaikan di Kantor Presiden di Jakarta, Senin.
Sihanouk, menurut Yudhoyono, dikenal sebagai sahabat pemimpin-pemimpin Indonesia terdahulu, baik semasa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memerintah.
”Beliau ikut memperkokoh hubungan bilateral Indonesia- Kamboja,” kata Yudhoyono.