Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memilah Klaim

Kompas.com - 23/08/2012, 08:20 WIB

Oleh: Rene L Pattiradjawane

KOMPAS.com - Klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan atas berbagai pulau karang di Laut China Timur sampai Laut China Selatan punya pola yang sama setiap dekadenya. Sejak lama, wilayah laut di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara menjadi titik panas pertikaian berbagai negara kawasan.

Perbedaan mencolok terjadi tahun ini ketika China secara tidak langsung memecah ASEAN yang tak mampu menghasilkan komunike bersama di Phnom Penh, Kamboja, terkait klaim tumpang tindih di Laut China Selatan. Di Laut China Timur, rebutan klaim atas Kepulauan Senkaku dengan Jepang memiliki pola sama, yang diikuti dengan sentimen anti-Jepang melalui berbagai unjuk rasa di beberapa kota di daratan China.

Ada beberapa faktor penting yang menjelaskan persoalan ini. Pertama, intensitas tumpang tindih klaim kedaulatan terjadi ketika kebutuhan akan sumber daya energi dan keamanan makanan (khususnya produk hasil laut) menjadi ancaman serius buat China dan negara di sekitarnya. Keamanan energi menjadi persoalan terpenting bagi China dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

Kedua, perubahan geostrategi AS melalui kebijakan poros yang digelar Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan menempatkan 70 persen kekuatan armada lautnya di kawasan Asia Pasifik. Para penguasa di Beijing mengantisipasi kemungkinan penggelaran strategi pengepungan atas kebangkitan China untuk menjadi kekuatan militer alternatif di kawasan ini.

Faktor ketiga, dari masa ke masa sejak berdirinya kekuasaan komunisme di daratan China tahun 1949, negara dengan penduduk terbesar di dunia ini memiliki apa yang disebut ”kompleksitas korban”. Ini yang menjelaskan meledaknya luapan amarah warga di daratan China atas klaim kedaulatan di Kepulauan Senkaku yang mereka sebut Diaoyu.

Sejarah kolonialisme di daratan China sebelum Perang Dunia II menghadirkan pengertian konvensional kita tentang nasionalisme China yang digambarkan sebagai anti-Barat atau anti-Jepang. Sekaligus sebagai pengejawantahan penting obsesi nasionalisme sebagai negara besar dan ambisi mereka untuk memulihkan kejayaan kekaisaran China masa lampau.

Ini juga yang menjelaskan kenapa para penguasa di Beijing sering kali menihilkan sistem dan hukum internasional, terutama terkait dengan masalah kedaulatan, termasuk legitimasi wilayah kedaulatan. Akibatnya, perspektif yang muncul adalah kebangkitan China dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS menjadi sangat asertif, terutama dalam nuansa realpolitik gagasan sistem negara adidaya.

Kita pun mengalami kesulitan pemahaman untuk melihat perilaku China, sebagai ambisi atau sebagai ancaman, ketika pengalaman pembangunan ekonominya menjadi perangkat politik luar negeri yang efektif bagi negara-negara berkembang. Bantuan pembangunan ekonomi China ke mana pun di dunia menjadi model melalui mekanisme no-strings-attached seperti yang belum pernah dilakukan Bank Dunia ataupun IMF.

Dan terbukti, kebijakan ini ternyata berhasil membuat organisasi regional Asia Tenggara menjadi ”unASEAN” di Phnom Penh, meninggalkan mekanisme konsensus yang selama ini menjadi roh keberhasilan politik regional. Kita pun mulai melihat kekuatan eksternal, terutama AS, mulai mengambil posisi kembali ke era Perang Dingin dengan menempatkan berbagai kekuatan militer di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.

Pertanyaannya adalah apakah kebangkitan China sebagai negara adidaya baru di abad ke-21 ini bisa dilakukan melalui apa yang mereka gemborkan sebagai kebangkitan damai? Sepertinya China sedang belajar dengan memilah-milah persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di sekitar lautnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com