Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Veto Ketiga Picu Kemarahan Barat

Kompas.com - 21/07/2012, 03:02 WIB

WASHINGTON DC, JUMAT - Seperti telah diduga, langkah dua anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, China dan Rusia, memveto usulan resolusi ketiga untuk menjatuhkan sanksi terhadap Suriah langsung membuat berang sejumlah negara barat, terutama Amerika Serikat. Sejumlah langkah balasan mereka lancarkan.

Dalam pemungutan suara di DPR AS, Jumat (20/7), 407 anggota DPR menyetujui pemutusan kontrak pembelian 10 helikopter jenis Mi-17 dari perusahaan Rosoboronexport, Rusia.

Kontrak pembelian senilai 171 juta dollar AS (Rp 1,6 triliun) itu dilakukan AS untuk menyuplai angkatan bersenjata Afganistan, seperti diumumkan pekan lalu oleh pihak Pentagon.

Di Brussels, Belgia, 27 negara anggota Uni Eropa (UE) sepakat memperkuat dan memberlakukan embargo senjata terhadap Suriah.

Keputusan embargo ekspor senjata oleh UE sebenarnya sudah diambil sejak Mei 2011, tetapi tidak kunjung dilaksanakan.

Diperkirakan, mulai Senin mendatang semua negara anggota UE akan mengontrol dan menginspeksi secara ketat kapal- kapal ataupun pesawat kargo yang dicurigai.

Sebelumnya, pihak UE juga telah membekukan aset-aset 43 perusahaan dan 128 individu, yang diduga punya kaitan atau sekadar diuntungkan oleh rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Dalam sepekan ke depan, nama-nama baru, baik perusahaan maupun perseorangan, yang juga dibekukan asetnya kemungkinan bakal bertambah lagi.

Rusia kecewa

Kepada wartawan di Moskwa, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich, mengaku sangat menyayangkan sejumlah langkah ”balasan” seperti itu.

Menyikapi hasil pemungutan suara DPR AS yang berujung pada pembatalan pembelian helikopter Mi-17 itu, Lukashevich menuduh lembaga legislatif AS masih terjebak dalam mentalitas era ”perang dingin”.

Padahal, AS dinilai justru terus menyuplai persenjataan terhadap kelompok oposisi di Suriah.

”Sangat tidak bisa diterima jika negara-negara Barat mau menyalahkan penolakan Rusia terhadap resolusi (DK PBB) dan lalu mencoba mengaitkannya dengan eskalasi kekerasan yang terjadi di Suriah,” kata Lukashevich.

”Daripada sibuk menyindir dengan kasar kebijakan Rusia, sebaiknya rekan-rekan negara Barat kami melakukan sesuatu yang berguna, seperti mengajak kelompok milisi oposisi di sana bersedia bernegosiasi,” ujar Lukashevich.

Rumor berkembang

Belakangan, sejumlah rumor spekulatif juga beredar di dunia maya seputar rezim Assad. Salah satunya menyebut keberadaan istri penguasa Suriah, Asma al-Assad, yang disebut-sebut telah mengungsi ke Rusia pascaserangan mematikan bom bunuh diri yang terjadi Rabu lalu di Markas Besar Biro Keamanan Nasional Suriah.

Selain itu, spekulasi juga semakin berkembang tak lama setelah Duta Besar Rusia untuk Perancis, Alexandre Orlov, mengaku yakin Presiden Assad bersedia turun secara ”baik-baik”.

”Dalam konferensi di Geneva terdapat komunike final yang meramalkan transisi demokratis di Suriah. Komunike itu diterima Assad, yang lalu menunjuk wakilnya untuk bernegosiasi dengan kelompok oposisi. Hal itu menunjukkan dia bersedia mundur dengan baik-baik,” ujar Orlov kepada stasiun Radio France International (RFI).

Rumor tentang istri Assad langsung dibantah Lukashevich, sementara pernyataan Orlov juga disangkal stasiun televisi Pemerintah Suriah, yang menyebut media barat mengutip pernyataan Dubes Rusia untuk Perancis itu secara salah dan tak berdasar.

”Komentar (Orlov) telah didistorsi lantaran tidak semua yang diberitakan (RFI) berasal dari apa yang telah dikatakannya,” papar pemberitaan di Suriah itu.

Dalam kesempatan terpisah, stasiun TV Suriah juga mengumumkan kematian Kepala Biro Keamanan Nasional negeri itu, Jenderal Hisham Ikhtiyar, Jumat pagi.

Dengan kematian itu, berarti korban tewas akibat serangan bom di Damaskus, Rabu, menjadi empat orang. Semuanya berasal dari kalangan puncak lingkar dalam kekuasaan Presiden Assad.

Seperti diwartakan, serangan mematikan itu sebelumnya menewaskan Menteri Pertahanan Suriah Dawoud Rajha dan wakilnya, Jenderal Assef Shawkat, serta mantan Menhan Hassan Turkmani.(REUTERS/AFP/AP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com