Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dinamika Islam Perspektif Keindonesiaan

Kompas.com - 08/07/2012, 04:13 WIB

• Judul: Quo Vadis: Liberalisme Islam Indonesia 
• Penulis: Halid Alkaf 
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas 
• Cetakan: I, Desember 2011 
• Tebal: xxviii + 364 halaman 
• ISBN: 978-979-709-614-4 Wildani Hefni

Munculnya pelbagai wacana dan isu dalam perkembangan global menjadi titik mula bagi pembaru Islam Indonesia, khususnya dalam konteks pemikiran keagamaan. Mereka muncul dengan tekad menyesuaikan Islam dan arus globalisasi.

Kehadiran globalisasi tidak boleh menggerus dan melenyapkan nilai-nilai keagamaan dalam komunitas masyarakat. Indikasi yang cukup jelas untuk menghadirkan penyegaran Islam dimulai dengan munculnya beberapa pemikir Islam berhaluan progresif-liberal, seperti Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.

Namun, kehadiran mereka sering dicerca dan ditampik, terutama berkenaan dengan aspek metodologi. Kaum pengkritik biasanya mengatakan bahwa gerakan kaum progresif-liberal tidak memiliki metodologi yang utuh dan kokoh. Dengan kata lain, gerakan ini miskin kajian fikih.

Buku dari hasil penelitian disertasi ini hadir dengan posisi obyektif dalam mengurai dinamika pemikiran Islam liberal Indonesia dari berbagai perspektif, mulai dari sejarah, tipologi, metodologi, analisis isu, sampai agenda aksi. Halid Alkaf membuka imbas positif pemikiran-pemikiran kaum liberal, utamanya yang berkaitan dengan realitas sosial masyarakat pluralistik. Salah satunya, kemampuan mengakomodasi pluralitas agama dan budaya, yang pada akhirnya membangun hubungan sinergis antara agama dan pluralisme di masyarakat Indonesia.

Perspektif liberal

Dalam konteks Indonesia, pluralitas agama dan budaya semakin relevan bagi penerapan nilai-nilai keagamaan dengan perspektif liberal. Penulis menemukan bahwa tipologi Islam liberal Indonesia berbeda dengan negara-negara lain, khususnya di beberapa negara Timur Tengah dan Barat. Kekhasan itu bisa dilihat dari tiga hal.

Pertama, kekayaan kultural yang dimiliki Indonesia. Ini terlihat dari geliat liberalisme keagamaan yang tidak menafikan sama sekali unsur-unsur tradisi lokal, termasuk doktrin keagamaan itu sendiri. Islam liberal Indonesia berdialektika dengan budaya lokal untuk terus menyegarkan nilai-nilai universalitas agama (hal 342). Kedua, pengalaman intelektualisme dan interaksi sosial-politik. Ketiga, sejarah perjalanan Islam Indonesia yang melibatkan hubungan dialektika antara Islam dan budaya lokal (hal 337).

Penelitian ini juga memperkuat sekaligus menolak tulisan Leonard Binder dalam Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988). Penguatan terletak pada pernyataan Binder bahwa penggabungan antara wacana rasional dan kesadaran yang dibentuk melalui kultur Islam memungkinkan lahirnya pengayaan liberalisme politik yang keberadaannya tidak hanya berasal dari kultur Islam, tetapi juga dari kultur luar Islam. Namun, menolak kesimpulan Binder bahwa pengurangan dan pelenyapan komitmen kelompok Islam liberal terhadap liberalisme Barat akan memudahkan lahirnya rekonsiliasi antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis. Halid menemukan bahwa terbukanya ruang pemisah antara Islam liberal Indonesia dan Islam liberal Barat tidak serta merta melahirkan rekonsiliasi antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis. Yang ada justru sebaliknya, kelompok tradisionalis memiliki pandangan dan sikap sendiri yang berbeda dengan kelompok liberal dan fundamentalis (hal 338).

Tidak heran bila jargon yang dilontarkan para pembaru Islam liberal Indonesia selalu mengaitkan Islam dengan perspektif keindonesiaan. Ini dilakukan untuk menyatukan Islam tradisionalis dengan Islam liberal. Bisa dilihat dari tokoh Nurcholis Madjid yang dikenal sebagai pembaru Islam penganut paradigma neomodernisme. Harun Nasution dan Munawir Syadzali yang mengembangkan modernisme klasik dan modernisme ortodoks. Abdurrahman Wahid yang cenderung pada model neotradisionalisme hingga pribumisasi Islam. Sementara generasi sekarang adalah Ulil Abshar Abdalla dengan kajian rasionalisme radikal.

Keislaman Indonesia

Tak hanya itu, Halid Alkaf juga memetakan landasan epistemologi dan aksiologi Islam liberal di Indonesia. Misalnya, dalam interpretasi teks keagamaan. Para pembaru Islam liberal memiliki beberapa corak, di antaranya: substantif dalam memahami ajaran agama; kontekstual dengan penafsiran pada situasi dan kondisi; serta rasional, yaitu memaknai ajaran agama berdasar nalar kemanusiaan yang sehat dan obyektif. Tokoh utama dalam barisan ini adalah Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, hingga generasi kekinian, yaitu Musdah Mulia (teologi feminisme), Kautsar Azhari Noer (tasawuf inklusif), Zainun Kamal (pluralisme agama), dan Ulil Abshar Abdalla (teologi liberal).

Adapun dalam ranah teologi keagamaan, prinsip utama didasarkan pada teologi rasionalistik, humanistik, dan universalistik. Ini bisa dilihat dari lembaga-lembaga para tokoh Islam liberal, seperti Paramadina, Jaringan Islam Liberal, Lakspesdam NU, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Dalam metodologi instinbat hukum, pemikir Islam liberal Indonesia menganut fikih yang berorientasi dan mendukung kemaslahatan umat secara umum tanpa terjebak fanatisme mazhab. Pelbagai pendekatan dan metode dipakai, di antaranya diferensiasi, substansialisme, ekualitas, ekumenisme, dan konstitusionalisme. Metodologi ini menjadi landasan para pemikir muslim progresif-liberal Indonesia untuk satu tujuan: memahami dan menggali nilai-nilai Islam dengan perspektif keindonesiaan.

Namun, buku ini cenderung melebih-lebihkan keagungan Islam liberal. Fakta yang ada di Indonesia, Islam liberal belum mampu membangun pendekatan persuasif dan strategi yang efektif agar bisa diterima semua kalangan. Sementara Halid Alkaf terlampau mengimajinasikan Islam liberal secara umum di Indonesia. Pada titik ini, tulisan terkesan ingin mengampanyekan Islam liberal di Indonesia sebagai kredo politik keislaman kontemporer.

Terlepas dari itu, buku ini mampu menjawab tuntas pelbagai kritik yang ditujukan kepada pemikir Islam liberal Indonesia. Singkatnya, Islam liberal Indonesia—walau kerap menuai kontroversi—sejatinya berdiri pada kehendak untuk membawa pesan universal agama dengan menyesuaikan pada perkembangan zaman.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo Semarang 

***

• Judul: The Growth Map: Economic Opportunity in the BRICs and Beyond 
• Penulis: Jim O’Neill 
• Penerbit: Penguin Group, 2011 
• Tebal: 248 halaman 
• ISBN: 978-1-59184-481-5

Sepuluh tahun lalu, Jim O’Neill meramalkan ekonomi dunia akan digerakkan oleh pertumbuhan empat negara: Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). Asumsinya pertumbuhan bersumber pada produktivitas dan ini menjadi peluang bagi negara dengan jumlah penduduk usia produktif tinggi. Apalagi, jika didukung oleh teknologi dan infrastruktur. Tahun 2011, terbukti kinerja ekonomi ke empat negara dengan total populasi sekitar 2,8 miliar itu melampaui prediksinya.

Kini, O’Neill memetakan kekuatan pertumbuhan untuk dekade berikutnya. Kecuali empat pemain besar tersebut, ekonom perusahaan keuangan global Goldman Sachs ini menyoroti ”Next Eleven” (N-11), sebelas negara dengan jumlah penduduk besar sekaligus potensial dari sisi ekonomi. Mereka adalah Meksiko dari Amerika Latin, Turki di perbatasan Eropa dan Asia, Mesir dan Iran dari Timur Tengah, Nigeria dari Afrika, enam negara lain dari kawasan Asia, yaitu Banglades, Indonesia, Korea Selatan, Pakistan, Vietnam, dan Filipina.

Indonesia disebut sebagai satu dari empat anggota N-11 yang bersama BRIC memiliki kesempatan mengembangkan pasar perdagangan dan investasi. Tiga lainnya adalah Korea Selatan, Meksiko, dan Turki. Sementara Mesir, Nigeria, dan Filipina mempunyai peluang yang sama meskipun investor mempertimbangkan risiko ketidakpastiannya. Mesir sendiri dalam kondisi bergolak ketika buku ini ditulis. Berdasarkan indikator iklim pertumbuhan GES (Growth Environment Score) yang mengukur variabel makro dan mikro, O’Neill memahami tuntutan pergantian kepemimpinan akibat stagnasi ekonomi yang berkepanjangan. (THA/Litbang Kompas)

***

• Judul: Raja Limbung, Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 
• Penulis: Mardiyah Chamim dkk 
• Penerbit: Sawit Watch, Tempo Insitute, INSISTPress, & Aliansi Desa Sejahtera, 2012 
• ISBN: 987-602-19607-0-7

Indonesia tampil sebagai negara penghasil sawit nomor satu di dunia pada 2010, satu abad setelah sawit dibudidayakan secara komersial pada 1911. Dengan produksi 22 juta ton minyak sawit mentah, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai raja sawit. Ironisnya, pengelolaan komoditas ini belum memakmurkan buruh perkebunan, bahkan memunculkan konflik agraria.

Para pekerja kebun sawit di Indonesia wajar iri bila menengok kondisi buruh sawit di negara tetangga. Di Malaysia, ada dividen dari perusahaan untuk pekerja dan masyarakat. Upah yang diberikan juga relatif lebih besar dibandingkan dengan upah pekerja sawit di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang hanya Rp 39.000 per hari. Bahkan, buruh berusia tua tetap digaji dan diberi asuransi 150 ringgit per bulan. Kondisi bertolak belakang yang terjadi di Indonesia ini antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak kepada pemodal. Sengketa lahan adalah contoh hak dan suara masyarakat adat yang dikesampingkan. Protes yang dilayangkan penduduk kerap ditanggapi dengan pendekatan keamanan melalui pengerahan polisi dan tentara.

Sejarah sawit di Indonesia sendiri dimulai pada 1869 saat maskapai dagang Belanda (VOC) mendatangkan kelapa sawit dari Mauritania, Afrika. Melalui sistem tanam paksa, pemerintah kolonial membudidayakan sawit hingga menjadi eksportir minyak sawit mentah terbesar dunia. Antara 1960-1980, kebun sawit lebih banyak dikelola BUMN. Kini dari 7,8 juta hektar luas kebun sawit nasional, 3,9 juta hektar (50 persen) dikuasai perusahaan swasta. Urutan kedua ditempati kebun rakyat yang menguasai 3,3 juta hektar (42 persen), sedangkan BUMN hanya memiliki 8 persen. (TGH/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com