Melalui penggunaan
Dalam perspektif ini, kita melihat pernyataan China sebagai ”gertakan” untuk menyiapkan kapal perang yang siap tempur menegakkan klaim kedaulatannya.
Terkait dengan ini, pernyataan Pusat Riset Pembangunan China untuk melepas kendali pertumbuhan penduduk tentang kebijakan satu anak merupakan proyeksi jangka panjang untuk membentuk demografi penduduk China yang sudah terlalu tua ke dalam sebuah skenario perang besar.
Sejak tahun 1980, kebijakan satu anak di China telah mencegah kelahiran 400 juta anak. Terjadi perubahan besar yang mengacaukan struktur demografi karena terlalu banyak anak laki-laki dibanding anak perempuan yang berpotensi menimbulkan persoalan sosial masif.
Bersamaan dengan itu, pembatasan kebijakan satu anak juga menyebabkan terjadinya ketimpangan usia produktif, termasuk usia perang yang dibutuhkan China ketika harus terlibat dalam konflik skala besar.
Konflik di kawasan Laut China Selatan sendiri dipercaya menyangkut cadangan masif minyak dan gas. Sebuah laporan yang dikeluarkan Administrasi Informasi Energi AS (USEIA) pada tahun 2008 menyebutkan, seluruh wilayah Laut China Selatan yang diklaim China, Filipina, Taiwan, Brunei, Vietnam, dan Malaysia, mempunyai cadangan minyak (yang sudah terbukti maupun yang belum ditemukan) antara 28 miliar-213 miliar barrel minyak.
Tidak banyak harapan persoalan klaim tumpang tindih Laut China Selatan akan menemukan solusi memadai pada pertemuan ASEAN+3 (China, Korea Selatan, dan Jepang) serta KTT Forum Regional ASEAN (ARF) di Kamboja pekan depan. Sejak tudingan pihak-pihak klaim tumpang tindih berlangsung di berbagai lokasi Laut China Selatan, ASEAN seperti bisu dan tuli tidak mempunyai posisi dalam meredam kemungkinan terjadinya konflik terbuka.
Segregasi persoalan Laut China Selatan menjadi terpisah antara mencari solusi secara bilateral seperti yang diinginkan China, dan secara multilateral seperti yang diusulkan Filipina membentuk apa yang disebut sebagai Zona Damai, Bebas, Persahabatan, dan Kerja Sama (ZoPFFC). Usulan Manila ini mencakup menjadikan Kepulauan Spratly sebagai daerah kantong wilayah yang disengketakan, melakukan demiliterisasi wilayah atol dan pulau karang di sekitarnya, serta membentuk badan pengembangan bersama sumber maritim.
Tidak adanya dukungan ASEAN pada klaim tumpang tindih di Laut China Selatan ini yang menjelaskan kenapa Hanoi dan Manila akhirnya beralih mencari dukungan Washington sebagai strategi alternatif berhadapan dengan China. Indonesia sebagai anggota ASEAN yang berpengaruh harus mulai secara aktif menjalankan
Kemajuan teknologi komunikasi informasi seperti pada awal tulisan ini menunjukkan kalau Kode Perilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan yang ditandatangani ASEAN dan China berada pada titik yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa ditata, dan menjadi situasi pesimistis tanpa terobosan baru. Elemen-elemen konflik di kawasan tersebut sudah berlangsung setahun terakhir ini.