Elaine memastikan pihaknya memiliki bukti yang dilakukan sejumlah personel militer di negeri itu sama sekali belum berubah walau Myanmar disebut-sebut tengah mereformasi dirinya beberapa waktu belakangan ini.
Menurut Elaine, seperti juga biasa dilakukan pihak militer saat Junta Militer berkuasa, tentara negeri itu menyerang rakyat sipil, menyerbu rumah-rumah tinggal, dan memerkosa sejumlah perempuan.
Pihak Human Rights Watch (HRW) mengklaim punya bukti kuat terjadi pelanggaran HAM berat. Di antaranya pembunuhan, penyerangan, penyiksaan, dan perkosaan yang menimpa warga sipil etnis minoritas Kachin, yang tinggal di daerah terpencil dekat perbatasan China.
”Jalan sepertinya masih sangat panjang, terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil dan juga daerah konflik, untuk bisa merasakan keuntungan yang dijanjikan dari proses reformasi saat ini di Myanmar,” ujar Pearson.
Pearson mendesak komunitas internasional untuk tidak cepat berpuas diri dan tetap terus memantau berbagai praktik pelanggaran HAM serius. Menurut dia, hal itu masih terus ”mewabah” di sejumlah kawasan di negeri itu.
Pada Juni tahun 2011, sebuah pertempuran besar antara tentara pemerintah dan pejuang pemberontak dari Tentara Pembebasan Kachin pecah, memaksa sedikitnya 75.000 warga sipil mengungsi.
Pertempuran diyakini terkait rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air yang dimodali China. Pertempuran itu membuyarkan kesepakatan gencatan senjata antara Pemerintah Myanmar dan pihak Kachin, yang telah berusia 17 tahun.
Sejak itu berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM berat dilakukan kedua belah pihak, terutama militer Myanmar. Sementara itu, para pengungsi semakin menderita akibat kelaparan dan kekurangan obat-obatan lantaran militer Myanmar berupaya terus menghalang-halangi arus masuk bantuan internasional.