Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasukan AS Tetap Ditarik 2014

Kompas.com - 14/03/2012, 02:22 WIB

Washington DC, SENIN - Insiden pembantaian terhadap 16 warga sipil di Kandahar membuat Presiden Amerika Serikat Barack Obama makin bertekad menarik pasukan AS dari Afganistan. Namun, AS tak akan mengubah rencana semula, yakni tetap menarik pasukannya pada 2014.

Dalam wawancara dengan beberapa stasiun televisi lokal di AS, Senin (12/3), Obama mengatakan, insiden penembakan oleh prajurit AS yang menewaskan 16 warga sipil itu membuat dia makin bertekad memulangkan seluruh prajurit AS di Afganistan.

Meski demikian, Obama menegaskan, penarikan mundur pasukan tak perlu terjadi secara buru-buru dan harus dilakukan secara bertanggung jawab.

Secara terpisah, juru bicara Gedung Putih, Jay Carney, dan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta juga menegaskan, insiden tragis itu tak akan mengubah rencana yang telah disusun AS selama ini. ”Penting bagi kami untuk maju terus, dan mengakhiri perang ini secara bertanggung jawab dan menuntaskan misi yang telah kita mulai,” ujar Panetta.

Sebelum insiden tersebut terjadi, AS dan Afganistan sedang merundingkan Perjanjian Kemitraan Strategis. Perjanjian itu akan menjadi dasar hukum bagi AS untuk menempatkan sebagian pasukan khusus di Afganistan setelah 2014, untuk mencegah negeri itu jatuh lagi ke tangan Taliban.

Namun, setelah penembakan itu terjadi, para anggota parlemen Afganistan menyerukan penangguhan pembicaraan kerja sama bilateral kedua negara sampai pelaku penembakan diadili.

Insiden itu memperburuk hubungan kedua negara, yang sebelumnya sudah terganggu insiden pembakaran kitab suci oleh pasukan AS di Pangkalan Udara Bagram, beberapa bulan lalu.

Hari Selasa (13/3), ratusan mahasiswa menggelar aksi protes anti-Amerika di Jalalabad, Afganistan timur. ”Alasan kami menggelar protes ini adalah pembunuhan anak-anak tak berdosa dan warga sipil lain oleh seorang prajurit AS yang lalim. Kami ingin Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pemerintah Afganistan mengadili orang ini secara terbuka,” seru Sardar Wali, salah satu mahasiswa.

Di desa tempat pembantaian itu terjadi, gerilyawan Taliban muncul dan menembaki rombongan delegasi Pemerintah Afganistan yang datang untuk melayat para korban dan memberi bantuan. Satu orang pengawal tewas terkena tembakan. Namun, para pejabat dalam rombongan, termasuk dua saudara laki-laki Presiden Hamid Karzai, selamat.

Sebelumnya, pihak Taliban juga menyerukan kepada rakyat desa itu untuk bangkit melawan pasukan AS. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan, pelaku pembantaian itu harus diadili sebagai penjahat perang dan dieksekusi oleh pihak keluarga para korban.

Bisa berubah

Malcolm Chalmers, pakar kebijakan keamanan dari Kings College di London, Inggris, mengatakan, jika situasi di Afganistan masih terkendali, AS bisa melanjutkan rencana semula untuk menarik pasukan pada 2014. Namun, jika insiden terbaru ini memicu eskalasi kerusuhan di kota-kota utama Afganistan, seperti Kandahar dan Kabul, segalanya bisa berubah.

Pendapat serupa disampaikan Moeed Yusuf, pengamat dari US Institute of Peace. Menurut dia, jika berbagai kesalahan, seperti pembakaran kitab suci dan pembunuhan warga sipil, terus terulang, kemarahan rakyat Afganistan akan meningkat. Hal ini bisa mengacaukan strategi pasukan koalisi pimpinan AS.

”Jika (kesalahan-kesalahan) ini terus terjadi, saya tak tahu bagaimana mereka (AS dan NATO) akan bertahan dengan strategi mereka, yang sebagian besar bergantung pada niat baik rakyat Afganistan. Strategi militer terlalu mendominasi di sini, saat seharusnya strategis politiklah yang mendominasi,” papar Yusuf.

Sementara itu, detail peristiwa penembakan itu mulai terungkap. Jenderal John Allen, yang menjadi panglima tertinggi pasukan AS di Afganistan, mengatakan, seorang prajurit Afganistan melihat tersangka penembak itu keluar dari pangkalan.

Prajurit tersebut kemudian melapor ke pasukan AS, yang kemudian membentuk tim pencari. Tersangka penembak diketahui sebagai prajurit berusia 38 tahun yang pernah tiga kali bertugas dalam Perang Irak.

Panetta menegaskan, tersangka akan diadili di mahkamah militer AS dan diancam hukuman mati. (AP/AFP/Reuters/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com