Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Tolak Permintaan Perdana Menteri

Kompas.com - 11/02/2012, 04:40 WIB

ISLAMABAD, Jumat - Mahkamah Agung Pakistan, Jumat (10/2), di Islamabad, menolak permintaan Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani untuk menghindar dari panggilan pengadilan. Gilani harus menghadap pengadilan hari Kamis depan.

Pengadilan memanggil Gilani untuk menjelaskan mengapa dia menolak memerintahkan membuka kembali kasus korupsi yang melibatkan Presiden Asif Ali Zardari.

Militer memaksa pengadilan dan mendesak MA agar membuka lagi skandal tersebut, hal yang bertentangan dengan keinginan pemerintah. Keputusan MA ini tampaknya akan membawa gejolak politik baru di Pakistan yang sudah tidak stabil itu.

Jika terbukti bersalah di pengadilan, Gilani dapat dipaksa turun dari jabatannya dan mendekam selama enam bulan di penjara. Kasus ini telah membuat ketegangan antara para pemimpin sipil Pakistan dan MA. Ketegangan ini dapat membuat kekacauan dan melumpuhkan pemerintahan.

Kericuhan legal ini berawal dari ribuan kasus korupsi lama yang dilontarkan tahun 2007 oleh hukum amnesti kontroversial ketika itu. Hukum ini diloloskan semasa pemerintahan militer mantan Presiden Pervez Musharraf.

Gilani dan para penasihatnya mengabaikan perintah pengadilan untuk meminta otoritas Swiss membuka lagi kasus pencucian uang yang melibatkan Presiden Asif Ali Zardari. ”Permintaan itu ditolak,” ujar Hakim Agung Iftikhar Chaudhry di pengadilan seraya membacakan keputusan delapan anggota majelis.

Jika Gilani disingkirkan, tidak berarti pemerintahan akan tumbang karena koalisi yang berkuasa memiliki jumlah kursi mencukupi untuk memilih penggantinya.

Akan tetapi, pertarungan di pengadilan dapat melemahkan pemerintah dan merusak kesempatan Partai Rakyat Pakistan yang berkuasa untuk kembali terpilih dalam pemilu 2013.

Pada Jumat sore, Gilani menyatakan di hadapan parlemen bahwa dia akan tampil di pengadilan pada Kamis mendatang. ”Kami tidak ingin berkonfrontasi dengan institusi mana pun,” ujarnya setelah kekalahan dalam tuntutan banding.

Ketidakstabilan politik dan kebuntuan politik sering membuat perhatian para pemimpin Pakistan beralih dari tugas dan tantangan utama mereka, seperti menumpas Taliban serta melawan kemiskinan.

Para analis telah mengungkapkan keprihatinannya tentang kemungkinan akan terjadi krisis keuangan di Pakistan. Saat ini, defisit neraca transaksi berjalan Pakistan sudah terjadi dan tampaknya akan semakin memburuk karena beban pembayaran utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) segera jatuh tempo.

”Saya rasa kejadian ini merupakan kemunduran dari sistem yang ada. Kinerja pemerintah dipengaruhi oleh konfrontasi dengan militer,” ujar Talat Masood, seorang pensiunan jenderal dan analis politik.

Pemerintah Pakistan sekarang ini merupakan pemerintahan sipil yang paling lama berkuasa dalam sejarah Pakistan. Diharapkan, pemerintahan kali ini dapat berjalan hingga akhir masa tugasnya. Sudah 64 tahun Pakistan diperintah oleh militer melalui berbagai kudeta.

Tekanan militer

Beberapa pengamat yakin tekanan pengadilan atas kasus korupsi tersebut akan ditimpali oleh militer sehingga mereka dapat menekan pemerintah. ”MA dan pemerintah berada dalam posisi terbuka dan saling menyerang sekarang. Tampaknya jelas sekali pengadilan tidak ingin mendukung pemerintah,” ujar Cyril Almeida, seorang kolumnis harian Dawn.

”Sekali MA, tentara dan oposisi sepakat bahwa pemerintah harus berakhir cepat atau lambat, tampaknya memang sangat sulit bagi pemerintah untuk bertahan,” ujar Almeida.

Kubu militer pekan lalu mengkritik pernyataan Gilani di sebuah koran China. Ketika itu Gilani menyebutkan ada sebuah pernyataan yang diserahkan oleh pimpinan militer kepada MA lewat sebuah memo. Gilani menilai hal itu merupakan skandal.

Gilani juga memecat Menteri Pertahanan Naeem Khalid Lodhi, seorang pensiunan yang dekat dengan para petinggi militer. Pertentangan yang semakin meruncing ini dapat meletupkan kudeta militer di Pakistan dalam beberapa pekan ke depan. Militer Pakistan jengkel karena AS kini membela pemerintah, bukan militer. (AP/TheNational/joe)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com