Itulah keberanian Gorbachev yang oleh Lilia Shevtsova, seorang analis politik Rusia, disebut sebagai pemimpin Rusia pertama yang mendekonstruksi dan mendesakralisasi kekuasaan menjadi simbol era baru. Gorbachev memutuskan melonggarkan cengkeraman Soviet atas Eropa Timur. Di awal Revolusi Beludru di Jerman Timur, Cekoslowakia, Hongaria, dan Polandia, sejumlah pemimpin setempat berharap ”simpati” dari Kremlin. Namun, Gorbachev menjawabnya dengan tegas, ”Nyet!” (tidak!) meskipun saat itu tentara Soviet masih ditempatkan di negara-negara yang tengah dilanda revolusi itu.
Alasan Gorbachev sederhana: ia tidak mau mengulang pertumpahan darah seperti ketika terjadi Prague Spring (1968). Ia memberikan kesempatan kepada dua Jerman untuk bersatu, negara-negara bekas satelit Soviet merdeka. Namun, harga yang harus dibayar memang sangat mahal: Uni Soviet ambruk!
Kini, ketika ia meneriakkan perlunya politik etis setelah menuding PM Vladimir Putin dan Presiden Dmitry Medvedev curang, dalam pemilu lalu, rakyat Rusia juga sudah sadar. Ia meneriakkan suara rakyat. Rakyat juga berteriak, tanpa rasa takut lagi. Dunia memang sudah berubah. Para diktator dan penguasa otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara, misalnya, sudah jatuh. Demokrasi mulai tumbuh di mana-mana.
Namun, demokrasi dan perlindungan terhadap kelompok minoritas ternyata adalah dua hal yang berbeda. Demokrasi di Timur Tengah tidak dirasakan melindungi kaum minoritas. Bagaimana dengan Rusia? Demokrasi memunculkan diktator baru di zaman baru? Tidak ada orang seperti Gorbachev lagi yang rela melucuti kekuasaannya sendiri, yang telah mengembalikan kekuasaan dan kedaulatan kepada rakyatnya.