Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mesir Berada di Titik Kritis

Kompas.com - 25/11/2011, 02:21 WIB

Kekuatan politik yang memiliki pendapat ini terhitung minoritas. Pihak yang cenderung memenangi pertarungan adalah kubu Islamis karena kebetulan garis politiknya sesuai dengan garis politik Dewan Agung Militer, kecuali ada perkembangan luar biasa.

Nihil tradisi demokrasi

Gejolak yang terjadi saat ini di Mesir berpotensi untuk terbawa ke dua arah, bisa sangat rusuh atau bisa sangat mulus. Kondisi sosial politik di negara ini tak jelas karena Mesir modern nyaris tak memiliki sejarah dan pengalaman transisi.

Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Victor Pradipta, yang dihubungi Kamis, di Malang (Jawa Timur), urun pendapat soal ini.

Mesir diharapkan bisa dengan mulus membentuk pemerintahan demokratis. Namun, ini bergantung pada tarik-menarik kekuatan politik. Namun, yang paling dikhawatirkan adalah ketegangan antara Dewan Militer dan sebagian rakyat.

”Banyak pertanyaan tentang ke mana para pemimpin kelompok sipil di sana sehingga setiap kali harus berlangsung demokrasi jalanan untuk merundingkan setiap tahapan transisi untuk mencari proses transisi yang damai,” ungkapnya.

Victor menilai orang memang terpukau dengan aspek historis Mesir yang dianggap sebagai peradaban yang tua. Padahal, sesungguhnya era modern Mesir tak demokratis, terkait penguasaan Terusan Suez yang amat penting bagi Eropa.

”Mesir tak punya pengalaman soal demokrasi, tak transisi ke demokrasi, seperti kasus Thailand yang memiliki raja dan menjadi penjamin transisi, atau seperti Iran yang memiliki kelompok elite agama tempat rakyat memercayakan pengawasan transisi,” katanya.

Proses demokratisasi yang berlangsung di Mesir saat ini terutama merupakan isu nasionalisme. Ini berada di wilayah yang berbeda dengan kepentingan kelompok sipil di Mesir, seperti Ikhwanul Muslimin yang orientasi cita-citanya masih mengacu pada masa lalu Pan- Arabisme dan Pan-Islamisme.

”Organisasi sosial politik, seperti Ikhwanul Muslimin, bisa dianggap tidak relevan, atau tidak dapat diminta oleh masyarakat untuk terlibat, karena rakyat Mesir saat ini gelisah oleh kesenjangan ekonomi dan sosial, bukan Pan-Arabisme,” katanya.

Ini pula membuat Mesir berbeda dengan Indonesia, tambah Victor, karena transisi demokrasi di Indonesia disongsong serta dibantu oleh keberadaan dua organisasi sosial kemasyarakatan agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berbeda dengan organisasi agama lain yang berorientasi pada isu transboundaries, seperti Islamisme dan syariah, NU dan Muhammadiyah terlibat dan bahkan secara historis merupakan bagian dari proses nasionalisme Indonesia. (ODY/MTH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com