Realisme adalah semacam aliran kepercayaan, bahwa kebenaran itu mungkin dicapai, seperti yang terlihat kasatmata dalam perjuangan budaya visual untuk menggapainya: sejak lukisan naturalisme Finlandia dari abad XV (Myers, 1965: 218-9) sampai usaha keras teknologi fotografi serta sinematografi hari ini.
Namun, meski konsep realisme telah digugurkan pendekatan antirealis, yang menegaskan bahwa pencapaian termungkin hanyalah representasi realitas, dan bukan realitas itu sendiri, tak berarti realisme mati kutu. Sebaliknya, efek-realitas masih merupakan permainan yang dibutuhkan manusia, seperti tampak pada kasus mampirnya Tintin di Indonesia dalam dua terjemahan dari komik yang judul aslinya
Seperti diketahui, dalam hal Herge, penggubah komik seri Tintin, pemahaman atas permainan itu diwujudkan bagai suatu parodi bagi realisme: dalam cara menggambar yang menjadi pelopor genre garis-jelas (
Kombinasi pada tataran dua dimensi ini, khususnya pada wajah Tintin, merupakan pencapaian Herge yang memusingkan Steven Spielberg dan Peter Jackson, ketika berusaha memindahkannya ke dalam penggambaran tiga dimensional, yang sebagai
Ini sekadar bukti berkobarnya semangat realisme, yang menarik sebagai suatu kasus berkonteks Indonesia, ketika Tintin bersama Kapten Haddock dan Profesor Calculus dalam episode
Baiklah diperhatikan, bahwa jika dalam terjemahan Gramedia dituliskan bahwa Tintin dan kawan-kawannya mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, dan demikian pula—menurut pendiri dan moderator Komunitas Tintin Indonesia (Tintin_Id) Surjorimba Suroto—dalam terjemahan berbagai bahasa di seluruh dunia (tetapi ejaan lama: Kemajoran, Djakarta); maka dalam terjemahan Indira bukan hanya bahasanya yang dialihkan, melainkan wahananya secara keseluruhan, sehingga Kemayoran itu semula berubah menjadi Halim Perdanakusuma, lantas berubah lagi menjadi Cengkareng (bukan Soekarno-Hatta). Bagi pembaca non-Indonesia, apalagi tak tahu Indonesia, tiada masalah membaca nama Kemayoran atau apa pun nama bandaranya. Namun, bagi pembaca di Indonesia, dalam konteks realisme, terdapat suatu dilema.
Sejauh saya periksa buku Michael Farr,
Dalam sudut pandang realisme, berarti mengganti nama Kemayoran dengan Halim Perdanakusuma atau Cengkareng adalah keliru, karena bahkan Herge sendiri berorientasi hanya kepada Kemayoran, yang untunglah tidak menghasilkan gambar yang tak bisa tidak adalah Kemayoran. Namun, adalah sudut pandang realisme pula yang membuat para penerjemah dalam
Jika konsekuensi pilihan ini diteruskan, dalam cetak ulang berikutnya Tintin tentu tak bisa menggunakan pesawat Qantas yang baru saja tutup? Nah, apakah terjemahan bahasa Inggris yang terbit di Australia kelak juga harus mengganti Qantas dengan maskapai penerbangan Australia lain? Tergantung kepada argumen macam apa yang lebih bisa diterima para pengalihwahana, dalam konteks wacana dominan pembaca setempat. Nah, betapa rumitnya artikulasi ”kebenaran” itu bukan? Memang pergantian nama cukup ”lazim” dalam alih wahana komik seri Tintin, begitu rupa sehingga pembaca Indonesia bahkan menjadi terasing ketika dikembalikan kepada penamaan Herge, seperti terjadi dengan
Dengan demikian, kasus ini menjelaskan pula bahwa suatu wacana menjadi hegemonik atau terpinggirkan, terproses oleh berbagai faktor dalam konteks. Dalam konteks wacana pembaca Indonesia, jelas Bandara Cengkareng/Halim Perdanakusuma di dalam komik merupakan wacana dominan dalam hubungan intertekstual dengan Bandara Soekarno-Hatta/Halim Perdanakusuma di luar komik, sehingga cenderung tak akan dipertanyakan. Dalam konteks ”keaslian dan kemurnian”, kesetiaan kepada karya Herge, yang memang menghadirkan naratif gambar/kata-kata di dalam komik dengan rujukan ruang-waktu tertentu di luar komik, bersama dengan semua terjemahan ke bahasa-bahasa lain, tentu Bandara Kemayoran merupakan wacana yang dominan pula.
Sejauh posisi realisme telah diketahui, tentu tidak proporsional menentukan mana yang lebih benar. Bagi catatan ini, cukuplah jika terpahamkan: dari posisi Indonesia tersaksikan dilema realisme, sehingga tidak termungkinkan adanya kebenaran tunggal. Di satu sisi terjanjikan betapa realitas tidak akan pernah diketahui, sekaligus tersepakati bahwa representasi realitas itu tidak dapat dikuasai wacana tertentu, termasuk mazhab realisme itu sendiri.