Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TAJUK RENCANA

Kompas.com - 18/06/2011, 02:33 WIB

Soal Pemalsuan, Sudah Keterlaluan

Tindakan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi tentang keanggotaan DPR dalam Pemilu 2009 pelan-pelan semakin tersingkap dengan jelas.

Penyingkapan kasus pemalsuan itu benar-benar membuat berbagai kalangan terperangah. Banyak orang bergumam, ada-ada saja. Tidak sedikit yang bereaksi spontan, ini sudah keterlaluan! Masalah yang satu belum dituntaskan, datang lagi persoalan lain.

Skandal pemalsuan ini menimbulkan kehebohan karena taruhannya besar dan harganya sangat mahal bagi keberlangsungan proses demokratisasi dengan implikasi sangat luas dan jauh ke dalam panggung politik nasional.

Kepemimpinan memang sedang diuji bagaimana mendorong penyingkapan persoalan itu secara tuntas untuk kepentingan kebenaran dan moralitas bangsa, tetapi sekaligus dapat meredam segala dampak dan komplikasinya. Tantangannya tidak kecil. Telah disebut-sebut dugaan keterlibatan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati, yang kini menjadi salah satu fungsionaris Partai Demokrat, dalam kasus pemalsuan itu.

Sejauh ini sebenarnya hanya terdengar sayup-sayup tak jelas selentingan isu tentang masalah teknologi informasi dalam perhitungan suara Pemilu 2009. Sama sekali tidak banyak disinggung tentang skandal pemalsuan surat MK. Tidak mengherankan jika banyak orang dibuat terkaget-kaget dan terenyak ketika tiba-tiba menyimak tentang kasus pemalsuan itu. Jangan-jangan banyak kursi tidak sah di DPR karena kejahatan pemalsuan surat MK.

Pengusutan serius memang diperlukan. Jika hasil pengusutan memperkuat dugaan pemalsuan, muncul persoalan berikutnya, apakah anggota DPR yang duduk di kursi tak sah harus disingkirkan. Tentu terlalu jauh dan sangat mahal kalau orang mewacanakan pemilu ulang.

Meski masih harus dibuktikan, penyingkapan kasus pemalsuan itu meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pelaksanaan Pemilu 2009. Tidak habis pikir mengapa orang sampai begitu nekat melakukan pemalsuan. Perlu dibongkar habis bagaimana sampai terjadi kejahatan semacam itu. DPR sendiri tampaknya mengasumsikan mafia telah bekerja di balik proses pemalsuan.

Mungkin atas asumsi itu, DPR sendiri membentuk tim pengusutan dengan nama Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum untuk menelusuri kecurangan dalam rekapitulasi suara serta kursi tidak sah yang mungkin terdapat di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2009. Dugaan pemalsuan surat MK menjadi pintu masuk penyelidikan.

Jika memang mafia juga berkiprah dalam pemilu, negara dan bangsa Indonesia sungguh ditelikung kekuatan mafioso. Mafia bergerak di mana-mana, seperti di bidang hukum, pengadilan, pajak, tambang, dan hutan.

Lazimnya kaum mafia bergerak leluasa jika sistem hukum kacau, pemerintahan dan kepemimpinan lemah, serta masyarakat kehilangan orientasi nilai yang mengagungkan kebaikan, mengutamakan kejujuran, dan kesalehan sosial.

***

Sudan, Perang Belum Usai

Bisa dikatakan terlalu terburu- buru dunia memberikan sela- mat kepada Sudan selatan dan Presiden Sudan Omar al-Bashir setelah referendum Januari lalu.

Pada 11 Januari lalu, rakyat Sudan selatan menentukan nasib mereka—memisahkan diri dari Sudan—lewat referendum. Pelaksanaan referendum itu sebagai bentuk realisasi perjanjian perdamaian Januari 2005 antara Sudan utara dan selatan.

Hasil referendum secara jelas menegaskan bahwa rakyat Sudan selatan ingin memisahkan diri dan membentuk negara sendiri. Sebanyak 98 persen pemilih mendukung pemisahan diri itu. Dan, hasil inilah serta sikap legawa Presiden Sudan Omar al-Bashir yang mendapat pujian dari komunitas internasional.

Akan tetapi, ada persoalan yang tertinggal dari referendum itu. Salah satunya adalah siapa yang berhak atas kota Abyei, kota kaya minyak yang terletak di perbatasan kedua wilayah itu.

Menurut Perjanjian Perdamaian 2005, yang mengakhiri 22 tahun perang saudara, antara Pemerintah Sudan— terutama menguasai wilayah utara yang Muslim—dan kelompok bersenjata yang tergabung dalam Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM)—terutama menguasai wilayah selatan yang Kristen dan animis—rakyat Abyei bebas menentukan nasib mereka sendiri.

Dengan kata lain, rakyat Abyei bebas memilih apakah ingin bergabung dengan utara atau memilih bergabung dengan selatan. Namun, dalam praktik tidaklah semudah itu karena adanya ketidaksepakatan antara SPLM dan Partai Kongres Nasional yang berkuasa tentang kualifikasi penduduk Abyei yang berhak memberikan suara.

Dari sinilah persoalan itu menjalar ke mana-mana dan kemudian mengakibatkan konflik bersenjata pecah lagi. Konflik bersenjata justru pecah setelah referendum selesai yang sebenarnya mengakhiri perang saudara.

Akibat konflik bersenjata, puluhan ribu orang dikabarkan terpaksa mengungsi mencari tempat aman. Menurut data PBB, sekitar 60.000 orang tercerai-berai sejak pecah perang pekan lalu. Sementara itu, lebih dari 100.000 penduduk Abyei masuk ke wilayah selatan setelah tentara utara masuk kota itu, Mei lalu.

Kini menjadi jelas bahwa perang saudara di Sudan lebih didorong oleh perebutan sumber daya alam ketimbang masalah agama, atau etnis, atau suku. Paling tidak, hal itu tergambar jelas dari kasus Abyei.

Sebenarnya kalau utara mau memegang teguh isi perjanjian perdamaian, niscaya tidak akan muncul konflik baru di Sudan. Konflik di Abyei hanyalah satu dari banyak persoalan di negara baru itu. Mereka juga masih harus membangun pemerintahan baru dengan keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas. Merdeka baru merupakan tahap awal, selanjutnya masih belum jelas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com