Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Quo Vadis" Revolusi Libya

Kompas.com - 03/05/2011, 04:31 WIB

Tidak seperti Mesir dan Tunisia, revolusi Libya mengalami kebuntuan yang sempurna. Ini karena setiap pihak mempunyai optimisme yang sama perihal kemenangan dalam pertempuran.

Pihak Khadafy mempunyai optimisme tinggi akan memenangi pertempuran karena tentaranya masih loyal. Tentara dipimpin oleh putra dan iparnya sendiri, Khamis dan Abdullah Sanusi. Khadafy juga masih mempunyai sumber dana yang tidak terbatas untuk menyewa tentara bayaran. Karena itu, Saif al-Islam menyatakan, serangan NATO belum melumpuhkan kekuatannya, NATO baru mengalahkan ”anak-anak kecil”.

Pihak revolusi tak surut seinci pun keyakinannya untuk memenangi pertempuran, apalagi dukungan publik Libya sebenarnya berpihak kepada mereka. Ini karena pihak Khadafy dalam beberapa minggu terakhir menyerang warga sipil, khususnya di Misrata dan Zintan. Pihak Khadafy tidak hanya menyerang pasukan revolusi, tetapi juga warga sipil yang diduga menyokong gerakan revolusi. Bahkan, Khadafy juga mengancam akan mengebom kapal pembawa bantuan kemanusiaan ke Misrata.

Optimisme pihak revolusi semakin kuat karena NATO berkomitmen kuat membantu pihak revolusi hingga rezim Khadafy tumbang. Yang dilakukan NATO selama ini adalah menghancurkan seluruh kekuatan persenjataan Khadafy yang berpusat di Tripoli. Tujuannya agar Khadafy tidak lagi menggunakan persenjataan canggih untuk dapat membunuh secara masif.

Meski terasa lamban, apa yang dilakukan NATO relatif berhasil karena beberapa kali memaksa pasukan Khadafy mundur. Khadafy juga lebih mengandalkan tentara bayaran karena persenjataan canggihnya terus berkurang akibat serangan NATO.

Sebenarnya tidak mudah bagi pihak Khadafy untuk mempertahankan kekuasaan. Serangan NATO di Tripoli dalam beberapa hari terakhir semakin intensif dan menyebabkan putranya, Saif al-Arab, beserta tiga cucunya tewas dalam sebuah serangan. Khadafy sudah menawarkan genjatan senjata, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh NATO karena mereka belajar dari masa lalu. Kesepakatan politik kerap kali tidak dipatuhi pihak Khadafy. Pihak revolusi juga menolak tawaran damai dengan Khadafy karena selama ini tidak tampak niat baik dari Khadafy perihal jaminan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Mereka tidak mau lagi mendapat perlakuan Khadafy yang cenderung represif dan otoritarian terhadap kalangan oposisi.

Dengan demikian, masa depan Libya sangat ditentukan sejauh mana Khadafy mempunyai kearifan politik untuk tak memaksakan kehendak dalam mempertahankan kekuasaan. Menjadi pemimpin dalam kurun waktu 42 tahun sudahlah cukup. Jika tidak, pertempuran akan terus berlangsung dan nyawa manusia akan terus hilang dalam jumlah yang besar.

Saatnya Libya diberikan kepada mereka yang mempunyai visi demokrasi dan keadilan sosial. Khadafy perlu belajar kepada Hosni Mubarak dan Ben Ali yang legawa meletakkan jabatan karena rakyat sudah tidak menghendaki mereka lagi. Kekuasaan adalah milik rakyat. Jika rakyat sudah tidak menghendaki, saatnya kekuasaan diserahkan kembali kepada pemiliknya.

Zuhairi Misrawi Analis Politik dan Pemikiran Timur Tengah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com