Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia dan Konflik Thailand-Kamboja

Kompas.com - 29/04/2011, 02:50 WIB

PLE Priatna

Tentara Thailand dan Kamboja kembali bentrok senjata. Menurut harian Bangkok Post (24/4), beberapa tentara tewas, luka-luka, dan sebagian penduduk di Distrik Phanom Dong Rak, Provinsi Surin, dievakuasi. Artileri berat dan tambahan pasukan disiagakan di perbatasan.

Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa sebagai Ketua ASEAN pun segera merespons dengan menyerukan agar Thailand-Kamboja menghentikan konflik bersenjata dan menempuh jalan damai dalam menyelesaikan konflik.

Menlu Thailand Kasit Piromya bersedia merundingkan kembali masalah perbatasan dalam empat atau lima hari mendatang. Artinya, perundingan baru dilakukan sepekan menjelang pertemuan puncak KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, 4-8 Mei 2011.

Pertemuan Informal Menlu ASEAN di Jakarta, 22 Februari lalu, telah menghasilkan kesepakatan kedua pihak untuk melakukan gencatan senjata secara permanen dengan keterlibatan Indonesia sebagai penengah.

Perundingan bilateral

Indonesia memfasilitasi dan membantu pihak yang berseteru untuk kembali berunding di tempat netral, Istana Bogor, 7-8 April 2011. Pemerintah Kamboja diwakili Menteri Pertahanan Tea Banh menyambut baik rencana itu. Namun, petinggi militer Thailand yang diwakili Menhan Prawit Wongsuwon menginginkan perundingan bilateral oleh pejabat militer tanpa keterlibatan Indonesia dan tidak berlangsung di Indonesia.

Menhan Prawit bahkan mengancam tidak akan hadir jika sidang dilakukan di Indonesia. Di sisi lain Pemerintah Kamboja tetap ingin perundingan dilakukan di Indonesia dan dihadiri Indonesia sebagai penengah.

Perubahan sikap Thailand, terutama posisi petinggi militer Thailand—yang akhirnya didukung PM Abhisit—tentu menimbulkan kerumitan baru. Thailand secara tegas menolak tawaran tenaga bantuan pemantau militer (Indonesia) yang tidak bersenjata untuk ditempatkan di perbatasan wilayah sengketa. Tanpa mengungkap alasannya, militer Thailand tidak menghendaki keterlibatan pihak ketiga, termasuk hadirnya pemantau.

Perbedaan pandangan Kemlu Thailand dengan petinggi militer semakin kentara sehingga PM Abhisit harus menyangkalnya. Belakangan PM Abhisit mendukung sikap militer Thailand.

Namun, dari kasus bentrok senjata yang kembali terjadi minggu lalu terbukti bahwa tanpa pemantau asing yang mengawasi sekaligus mengawal proses gencatan senjata, konflik bisa meletus setiap saat.

Bentrokan senjata kali ini membuktikan lagi bahwa sikap (militer) Thailand yang menginginkan proses gencatan senjata berlangsung sendiri antara tentara Thailand dan Kamboja tanpa penengah atau pemantau netral adalah tuntutan keliru yang mengada-ada. Tuntutan ini memang sarat kepentingan politik domestik Thailand menjelang pemilu dan dibubarkannya parlemen, Mei ini. Sementara pihak Kamboja tetap konsisten bahwa proses gencatan senjata bisa berlangsung mulus jika dipantau dan diawasi wasit netral.

Bisa dikatakan, sesungguhnya pemantau yang netral ini adalah kunci sekaligus kendali bagi proses gencatan senjata. Tim pemantau dari Indonesia nanti menjadi pemegang kendali proses perdamaian dan gencatan senjata agar berlangsung seperti yang diharapkan.

Posisi ASEAN

Dalam konteks ini, sekarang adalah saatnya bagi ASEAN kembali menegakkan posisi dan mengingatkan bahwa konflik Thailand-Kamboja bukan perkara yang bisa diselesaikan secara bilateral murni.

Bilamana Thailand memaksakan kehendak untuk menggunakan jalur bilateral yang sesungguhnya sudah buntu—dengan kata lain tidak menginginkan Indonesia atau ASEAN menengahi—hanya ada satu opsi awal yang akan diangkat kembali oleh Kamboja, yaitu meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan sekalipun ASEAN tidak menghendaki. Thailand tentu juga tidak berharap kasus ini menginternasional dengan kehadiran penjaga perdamaian PBB sebagai penengah.

Lucunya, ketika Kamboja mengadukan kasus dan menyampaikan surat kepada Dewan Keamanan PBB untuk turun tangan, Thailand menolak perkara ini dibawa ke tingkat PBB dan meminta penyelesaian bilateral dalam kerangka ASEAN.

Solusi yang paling bisa diterima dan logis saat ini adalah sebagaimana posisi yang ditawarkan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. Thailand akhirnya menerima pengaturan bantuan tenaga perwira pemantau yang akan ditempatkan sebagai pihak netral di kawasan sengketa kedua wilayah. Tanpa pemantau, kawasan ini akan menjadi sumber instabilitas baru yang menjadi sorotan internasional.

PLE Priatna Alumnus FISIP UI dan Monash University, Melbourne; Bekerja di Jakarta

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com