Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontaminasi dan Iradiasi Pangan

Kompas.com - 30/03/2011, 04:28 WIB

Oleh M Zaid Wahyudi

Hampir 20 hari sejak ledakan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, otoritas Korea Selatan dan Filipina melaporkan terdeteksinya iodine-131 di wilayah mereka pada Selasa (29/3). Namun, paparan zat radioaktif itu dinilai kecil sehingga otoritas setempat menyatakan aman bagi masyarakat. 

Zat radioaktif yang keluar bersamaan dengan ledakan di PLTN Fukushima Daiichi, 12 Maret lalu, itu kini menyebar di udara, mengalir bersama air, menempel pada dedaunan, dan jatuh ke tanah. Proses rantai makanan di alam membuat zat radioaktif masuk ke dalam tumbuhan, hewan ternak, dan ikan.

Meski konsentrasinya akan semakin mengecil, zat radioaktif akan terus ada dalam berbagai bahan pangan manusia. Jika bahan-bahan pangan itu dikonsumsi manusia, zat tersebut akan terdeposit dalam tubuh manusia.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 21 Maret menyebutkan, jenis zat radioaktif yang banyak terdeteksi dalam berbagai produk pangan di sekitar PLTN Fukushima Daiichi adalah iodine alias yodium (I) dan cesium (Cs). Kadar iodine yang ditemukan melebihi batas aman yang disyaratkan dalam bahan pangan, sedangkan kadar cesium masih di bawah batas aman.

Waktu paruh

Tingkat bahaya pangan yang terkontaminasi zat radioaktif sangat ditentukan oleh jenis zat radioaktifnya. Hal itu berkaitan dengan waktu paruh setiap jenis zat radioaktif.

Untuk iodine-131 yang memiliki waktu paruh 8 hari, konsentrasi iodine akan menjadi separuh dari konsentrasi awal 8 hari setelah kontaminasi. Pengurangan konsentrasi terus berlangsung hingga konsentrasi zat radioaktif sangat sedikit.

Waktu paruh iodine yang kecil membuat zat ini tidak terlalu lama berada di alam dalam konsentrasi yang membahayakan. Kondisi sebaliknya terjadi pada cesium-137 yang memiliki waktu paruh 30 tahun.

Jika pangan yang terkontaminasi zat radioaktif dikonsumsi manusia, jumlah paparan zat radioaktif dalam tubuh manusia akan semakin bertambah. Sebenarnya, secara alami tubuh manusia mengandung zat radioaktif dan terpapar banyak radiasi, baik dari alam maupun makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari.

Semakin besar paparan zat radioaktif, semakin besar peluang munculnya radikal bebas yang memicu kanker. Iodine menyerang kelenjar tiroid, sedangkan cesium mengendap di jaringan lunak tubuh.

Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan iodine karena fungsi tubuh mereka belum sempurna.

Kepala Bidang Biomedik, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTKMR Batan) Zubaidah Alatas mengatakan, pil yodium atau kalium iodida yang diberikan kepada warga di sekitar PLTN oleh Pemerintah Jepang pada awal terjadinya ledakan dimaksudkan untuk menghambat iodine mengendap di kelenjar tiroid. Namun, konsumsi pil harus atas rekomendasi otoritas kesehatan tak dapat dikonsumsi sembarangan.

”Masyarakat di Indonesia tidak perlu mengonsumsi pil ini karena tidak ada peningkatan kontaminasi zat radioaktif. Mengonsumsi yang tidak perlu justru memicu penyakit lain, terutama hipertensi,” katanya.

Peneliti PTKMR Batan, Bunawas, menambahkan, zat radioaktif dalam tubuh dapat dikeluarkan melalui air kemih, keringat, ataupun tinja. Karena itu, mereka yang terpapar zat radioaktif dalam jumlah tinggi, tetapi masih di bawah batas aman, disarankan mengonsumsi makanan bergizi yang mengandung antioksidan. Mereka juga disarankan banyak beraktivitas agar banyak keringat keluar dari tubuh dan banyak minum air agar sering buang air kecil.

Batas aman paparan zat radioaktif dalam tubuh manusia per tahun sebesar 1 milisieverts (mSv). Adapun bagi pekerja reaktor, dosisnya bisa ditingkatkan hingga 20 mSv per tahun. Dalam kondisi darurat nuklir, dosis bagi pekerja reaktor bisa dinaikkan hingga 50 mSv.

Untuk menjaga agar tubuh tidak terpapar zat radioaktif dalam jumlah berlebihan, maka sertifikat bebas zat radioaktif bagi makanan yang masuk ke Indonesia mutlak diberlakukan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Dahrul Syah mengingatkan, hingga enam tahun sesudah ledakan PLTN Chernobyl, Uni Eropa masih melarang impor produk pangan dari Ukraina. Lama waktu tunggu ini dimaksudkan agar konsentrasi cemaran zat radioaktif yang ada dalam produk-produk pangan tidak lagi membahayakan bagi manusia.

Pangan iradiasi

Paparan zat radioaktif dalam bahan pangan memang harus dikhawatirkan. Namun, kekhawatiran serupa tidak perlu dialamatkan kepada pangan iradiasi.

Iradiasi merupakan teknik pengolahan pangan agar lebih tahan lama dengan membunuh mikroba yang membuat makanan cepat rusak. Proses iradiasi dilakukan dengan menyinari produk pangan dengan sinar gamma. Keunggulan dari teknik pengawetan ini adalah tidak merusak zat gizi yang ada dalam bahan pangan.

”Proses ini tidak menambahkan zat radioaktif dalam makanan, hanya menyinari saja untuk membunuh jamur, kapang, ataupun aneka bakteri di dalamnya,” kata Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Batan Zainal Abidin.

Proses iradiasi pangan yang dilakukan di PATIR Batan menggunakan cobalt-60. Penelitian untuk itu sudah dilakukan sejak tahun 1968.

Teknik iradiasi sudah banyak diterapkan dalam berbagai produk olahan, seperti bumbu masak, aneka rempah, buah-buahan, hingga aneka produk olahan pangan. Pengawetan pangan dengan pola ini mampu membuat pepes ayam, pepes ikan, hingga rendang awet sampai satu tahun tanpa mengubah rasa dan teksturnya. Adapun makanan basah, seperti tahu, bisa bertahan hingga satu minggu.

Makanan siap saji iradiasi itu cocok dikonsumsi oleh para orang lanjut usia, pasien rumah sakit yang rentan infeksi, ataupun aparat TNI/Polri yang bertugas di daerah terpencil dan perbatasan.

”Teknik pengawetan iradiasi lebih bagus dibandingkan pengawetan dengan pemanasan yang bisa merusak zat gizi di dalamnya,” kata Zainal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com