Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang Minta Bantuan

Kompas.com - 29/03/2011, 04:08 WIB

Tokyo, senin - Untuk pertama kali sejak krisis nuklir di PLTN Fukushima Daiichi terjadi lebih dari dua pekan lalu, Jepang akhirnya meminta bantuan dunia internasional. Otoritas di Jepang pun dianggap sudah tak mampu lagi mengatasi krisis, yang dianggap lebih genting dari krisis Libya, ini.

Menteri Perindustrian Perancis Eric Besson mengatakan, pihak Tokyo Electric Power Co (Tepco) meminta bantuan otoritas nuklir dan dua pelaku industri nuklir di Perancis, Senin (28/3), untuk membantu menangani situasi kritis di Jepang.

”Dengan gembira saya mengabarkan bahwa Tepco untuk pertama kalinya telah meminta bantuan dari pihak-pihak terkait industri nuklir di Perancis,” tutur Besson di Paris.

Tiga lembaga yang dikontak Tepco adalah Komisi Energi Atom Perancis (CEA) dan dua raksasa perusahaan energi nuklir, Electricite de France (EDF) dan Areva SA. Areva, perusahaan pembuat reaktor nuklir, membenarkan adanya permintaan tolong dari Jepang tersebut.

Permintaan bantuan dari dunia luar ini dilakukan di tengah situasi kritis berkepanjangan di PLTN Fukushima Daiichi, yang rusak diterjang tsunami pada 11 Maret.

Sumber kontaminasi

Hingga Senin, para pekerja dan teknisi dari Tepco masih belum menemukan sumber kontaminasi radioaktif yang mencemari air di sekitar reaktor Unit 1, 2, dan 3 PLTN tersebut. Para pekerja juga masih kesulitan memompa keluar dan mencari tempat pembuangan air terkontaminasi, yang menghalangi usaha memulihkan sistem pendingin reaktor.

Genangan air yang ditemukan di dalam bangunan reaktor Unit 2 memiliki tingkat radioaktivitas hingga 100.000 kali lebih tinggi daripada batas normal.

Sementara itu, parit-parit di sekitar bangunan turbin di reaktor Unit 3 diketahui memancarkan radiasi hingga 1.000 milisievert per jam. Padahal, batas maksimum paparan radiasi yang diperbolehkan bagi pekerja di PLTN tersebut hanya 250 milisievert per tahun.

Badan Perlindungan Lingkungan Hidup AS (EPA) menyatakan, satu dosis 1.000 milisievert saja sudah cukup untuk menimbulkan gejala-gejala penyakit radiasi, seperti pusing, muntah-muntah, dan pendarahan.

Air radioaktif, yang diduga berasal dari kebocoran lapisan pelindung inti reaktor, itu dikhawatirkan akan meluap dan mencemari tanah, air tanah, dan air laut. Jejak kontaminasi air laut perairan Samudra Pasifik sudah meluas hingga jarak 1,6 kilometer sebelah utara PLTN Fukushima Daiichi.

Juru bicara Badan Keselamatan Industri dan Nuklir Jepang (NISA), Hidehiko Nishiyama, mengatakan, materi radioaktif iodin-131 telah ditemukan dalam kadar 1.150 kali lipat di atas batas normal di wilayah lepas pantai dekat reaktor Unit 5 dan 6 PLTN tersebut.

Meragukan pemerintah

Berlarut-larutnya penanganan krisis di Fukushima membuat rakyat Jepang mulai jengkel terhadap pemerintah mereka. Jajak pendapat yang digelar kantor berita Kyodo hari Minggu menunjukkan hampir 60 persen responden tidak setuju dengan cara pemerintah menangani krisis nuklir ini. Sekitar dua pertiga responden juga menganggap Perdana Menteri Naoto Kan tidak menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

”Ada perbedaan antara apa yang ditulis di koran-koran dan apa yang disampaikan pemerintah. Saya ingin pemerintah lebih jujur,” tutur Mitsuharu Watanobe, salah seorang korban gempa yang mengungsi ke tempat penampungan di kota Fukushima.

”Kecelakaan nuklir ini perlu ditangani sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, bukan sekadar masalah bagi Tepco, dan perlu ditangani sesegera mungkin,” kata Toshiro Muto, mantan Deputi Gubernur Bank Sentral Jepang, yang kini menjadi Ketua Daiwa Institute of Research.

Najmedin Meshkati, peneliti di University of Southern California, berpendapat, krisis di Fukushima sudah tak mungkin ditangani sendiri oleh Jepang.

”Masalah ini perlu dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Menurut hemat saya, ini lebih penting daripada zona larangan terbang di Libya,” ungkap Meshkati.

(AP/Reuters/AFP/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com