”Saya mendengar deru pesawat dan kemudian terdengar ledakan,” kata Muhammad Shibli, warga, di Brega sambil mengatakan, bom mendarat dekat universitas khusus rekayasa minyak yang berjarak 2 kilometer dari pelabuhan ekspor. ”Ada serangan udara. Saya melihat sendiri,” ujar Awadh Mohammed, relawan oposisi.
Kota Brega juga tetap menjadi ajang pertempuran hingga hari Kamis. Kedua kubu berebut untuk menguasai depot dan instalasi minyak di kota pelabuhan utama untuk ekspor minyak Libya.
Pertempuran hebat juga berlangsung di Benghazi. Setiap kubu menyerang dengan menggunakan senjata otomatis dan pelontar granat.
Walaupun kewalahan di Libya timur, pasukan oposisi juga sedang berjuang keras untuk mengepung Tripoli yang masih dikuasai kubu Khadafy. Pasukan loyalis Khadafy juga bergerak di perbatasan Tunisia untuk menguasai kota Nalut.
Perang saudara yang sedang berkecamuk di Libya telah menimbulkan ketakutan luar biasa bagi warga asing dan lokal. Mereka berusaha menyeberang ke Mesir dan Tunisia. Mesir dan beberapa negara Barat telah meluncurkan pesawat khusus dan kapal laut untuk mengangkut para pengungsi yang panik. Juru bicara Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Melissa Fleming, mengatakan, eksodus warga terus terjadi.
Krisis di Libya, eksportir minyak pada urutan ke-12 dunia, menyebabkan penurunan produksi minyak dari 1,6 juta barrel menjadi 700.000 barrel per hari.
Hengkangnya para pekerja minyak dan ancaman Khadafy melakukan bumi hangus jika Barat menyerang memperburuk sentimen di pasar minyak. ”Saya tidak melihat potensi tentang pengakhiran krisis secara damai untuk kategori pemimpin seperti Khadafy,” kata Samuel Ciszuk, analis Timur Tengah di IHS Energy, London, Kamis.
Khadafy merasa dikhianati Barat, padahal ia berkompromi dengan Barat, termasuk dalam perang melawan terorisme. Khadafy juga menegaskan, ia sangat dicintai rakyat, rela mati untuk melindunginya.
Harga minyak jenis Brent
Kenaikan harga minyak mengkhawatirkan banyak pihak di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan, harga pangan yang mencapai rekor baru Februari lalu akan terus naik. Penyebabnya adalah kenaikan harga minyak, komponen utama sektor produksi.
”Kenaikan harga minyak akan memperburuk harga pangan yang sudah pada titik rawan. Ini membahayakan kondisi perekonomian di negara-negara berkembang,” kata David Hallam, Direktur Divisi Perdagangan dan Pemasaran FAO, di Roma.
Kekhawatiran akan kondisi ekonomi di negara berkembang menyebabkan investor global menarik dana dari negara berkembang. Cameron Brandt, analis EPFR, mengatakan, pemodal mulai keluar dari negara berkembang.