Warga dikelilingi ratusan polisi antihuru-hara, sebagian di antaranya membawa senjata otomatis selain pentungan dan perisai. Mereka juga melambai-lambaikan spanduk besar bertuliskan ”Rezim, keluar” dan menyerukan slogan yang dipinjam dari pemrotes massal di Tunis dan Kairo, yang telah menggulingkan pemimpin Tunisia dan Mesir itu.
Namun, puluhan ribu polisi dikerahkan untuk mencegah mereka melakukan unjuk rasa sejauh 4 kilometer yang direncanakan mulai dari Lapangan 1 Mei ke Lapangan Syuhada.
Demonstran menyerukan, ”Tolak negara polisi!” dan membawa spanduk bertuliskan, ”Kembalikan Aljazair kepada kami”. Namun, mereka bentrok dengan polisi.
Aljazair sejak lama dikuasai pemerintahan yang represif. Warga menderita kemiskinan yang meluas dan angka penganggur tinggi. Hal ini mengobarkan pemberontakan rakyat yang menggulingkan pemimpin dua negara Afrika Utara lainnya.
Presiden Mesir Hosni Mubarak dipaksa mengundurkan diri hari Jumat setelah 30 tahun berkuasa. Sementara sebuah ”revolusi rakyat” di Tunisia, tetangga Aljazair di sebelah timur, memaksa otokrat Zine al-Abidine Ben Ali mengasingkan diri pada 14 Januari.
Demonstran di Algiers itu termasuk pemimpin oposisi RCD, Said Sadi, dan mantan musuhnya Ali Belhadj, mantan pemimpin Front Pembebasan Islam yang kini dilarang.
Negara ini dipimpin Presiden Abdelaziz Bouteflika yang berkuasa sejak merdeka dari Perancis tahun 1962.
Dari Sana’a dikabarkan bahwa polisi Yaman hari Sabtu memukuli demonstran antipemerintah dengan pentungan. Demonstran itu sedang merayakan pengunduran diri Mubarak dan menuntut pengunduran diri presiden mereka.