Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geliat Dunia Arab Menuju Demokrasi

Kompas.com - 06/02/2011, 03:45 WIB

Kemarin, Tunisia. Sekarang, Mesir. Besok, mungkin Yaman. Besok lusa, bisa jadi Aljazair. Pekan depan, giliran Suriah.

Perandaian itu pasti ditertawakan atau bahkan dianggap bermimpi jika diucapkan beberapa bulan lalu. Tetapi, semuanya bak mimpi saja bila menonton pentas politik di dunia Arab saat ini.

Sebuah tontonan yang sangat menarik: sesuatu yang dianggap mustahil kini menjadi realita. Betapa rakyat dunia Arab yang berabad-abad termangu-mangu ibarat budak kini tiba-tiba bak singa buas yang keluar dari kandangnya. Itulah gambaran rakyat Tunisia kemarin dan Mesir sekarang.

Peristiwa Tunisia dan Mesir, betapa sangat menggambarkan tentang cerita bangsa Arab. Sebuah bangsa yang dicerai-beraikan oleh sistem Nation State dari kolonial Barat yang baru dikenal pada abad ke-20.

Konsep Nation State melahirkan negara Mesir, India, Aljazair, Maroko, Sudan, Yaman, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan seterusnya, dengan pemimpinnya masing-masing.

Tetapi jangan lupa, meski hidup dalam banyak negara dan di bawah banyak pemimpin pula, mereka adalah satu etnis, bahasa, budaya, sejarah, dan mayoritas beragama Islam. Mereka juga berasal dari satu wilayah yang memanjang dari wilayah jazirah El Arab yang kini dikenal dengan nama wilayah Arab Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Kesultanan Oman) plus Yaman di selatan, hingga wilayah Sham (Suriah, Lebanon, Jordania, Palestina).

Mereka baru merambah ke Afrika Utara (Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sudan, dan Mauritania) pada era Khalifah Umar bin Khattab (634-644 Masehi). Kata pepatah, bangsa Arab itu ibarat satu tubuh: jika ada bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh merasa sakit.

Dalam dunia politik pun tergambar bangsa Arab ibarat satu tubuh. Dulu, pada tahun 1950-an dan 1960-an, ada fenomena ”kudeta militer di dunia Arab bermula dari Mesir”, dengan kudeta militer tahun 1952 yang dipimpin Gamal Abdul Nasser dengan mengusung ideologi Sosialis Nasionalis.

Gerakan Gamal Abdul Nasser segera menginspirasi negara-negara Arab lain saat itu. Maka, muncullah fenomena kudeta militer di dunia Arab, seperti kudeta militer di Suriah tahun 1969 oleh Hafez Assad. Kudeta militer di Libya tahun 1969 oleh Moammar Khadafy. Kudeta militer di Sudan tahun 1969 oleh Gaafar Nimeri. Kudeta militer di Aljazair tahun 1964 oleh Houari Boumedienne dan kudeta militer di Irak tahun 1968 oleh partai Baath.

Ideologi Sosialis Nasionalis diadopsi oleh para pemimpin militer yang melakukan kudeta tersebut. Legitimasi rezim-rezim yang berkuasa di negara-negara Arab tadi berasal dari kudeta militer yang terjadi pada tahun 1950-an dan 1960-an itu. Tipikal diktator dan menjalankan pemerintahan tanpa kontrol adalah warisan dari legitimasi pemimpin tahun 1950-an dan 1960-an itu. Sebuah legitimasi yang sebenarnya sudah usang karena berusia 40 tahun hingga 50 tahunan.

Kini rakyat Arab mulai memberontak terhadap tipikal pemimpin tahun 1950-an dan 1960-an itu yang mempraktikkan pemerintahan korup, menjalankan kepemimpinan otoriter, dan gagal menyejahterakan rakyatnya.

Maka, pintu perubahan di dunia saat ini adalah bertolak dari isu kemiskinan, pengangguran, sistem politik, keamanan dan represif, serta praktik korupsi secara luas. Tiadanya keadilan sosial dan tiadanya kesetaraan dalam kewarganegaraan.

Penggalang perubahan di dunia Arab saat ini bukan lagi partai, institusi militer, atau tokoh tertentu seperti tahun 1950-an dan 1960-an, melainkan generasi muda Arab yang sejak lahir hingga masa remaja hidup di bawah tekanan pemerintahan otoriter dan tidak memiliki harapan masa depan.

Mereka sudah kehilangan kesabaran dan bahkan merasa terhina karena harga dirinya sudah diinjak-injak. Hal ini ketika mereka melihat rekannya, Mohammed Bouazizi (26), di Tunisia bunuh diri dengan membakar diri hanya lantaran dagangan buah-buahan dan sayur-sayurannya disita polisi.

Generasi muda Tunisia lalu bangkit melawan rezim represif yang sudah 23 tahun berkuasa, kemudian disusul generasi muda Mesir mengganyang rezim negeri yang sudah berkuasa 30 tahun. Memasuki hari ke-12 gerakan rakyat di Kairo, Alexandria, Suez, dan sejumlah tempat lain di Mesir saat ini, Presiden Mesir Hosni Mubarak masih juga bergeming.

Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com