Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengelolaan Ancaman Gunung Semeru

Kompas.com - 28/01/2011, 04:35 WIB

Oleh Anwar Hudijono, Syamsul Hadi, dan Dahlia Irawati

Hati Waryanto galau setiap kali memandang tanggul yang terbuat dari tumpukan batu yang dirajut dengan bronjong kawat. Pasalnya, dia ragu apakah tanggul sepanjang 87 meter dengan ketinggian kurang dari 2 meter mampu menahan jika aliran banjir lahar dingin Gunung Semeru—gunung tertinggi di Pulau Jawa itu—menuju perkampungannya, Dusun Rowo Baung, Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. 

Tanggul itu dibangun dari dana bantuan Pemerintah Provinsi Jatim sebesar Rp 150 juta setelah terjadi banjir bandang lahar dingin Gunung Semeru, Oktober 2010, yang menenggelamkan sekitar 17 hektar sawah milik warga dusun itu. Sawah itu kini tertimbun material vulkanik yang terdiri dari pasir dan batu dengan ketebalan sampai 8 meter. Sebagian menjadi aliran baru Sungai Besuk Sarat kemudian berbelok kembali ke jalurnya.

Sebagai Kepala Dusun Rowo Baung, Waryanto (50) merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan warganya yang berjumlah 562 jiwa dari 139 keluarga. ”Saya sangat ragu, apakah tanggul ini mampu menahan kalau terjadi banjir besar. Apalagi kelokan Sungai Besuk Sarat ini menuju ke permukiman,” kata Waryanto.

Sebenarnya harapan warga, kata Karyono (45), anggota Badan Perwakilan Desa Pronojiwo, tanggul itu agar dibangun permanen di sebelah hulu lagi. Kemudian kembalikan aliran sungai ke jalur asalnya. ”Kalau yang sisi Desa Sumber Arip dibangun tanggul permanen, sementara yang Rowo Baung dibangun tanggul bronjong kawat, ya pasti dusun ini yang kalah dan jadi korban,” katanya.

”Sebenarnya khawatir juga tinggal di sini. Tapi bagaimana lagi, punya saya hanya ini,” kata Ny Joko Santoso, yang rumahnya hanya berjarak sekitar 100 meter dari aliran baru Sungai Besuk Sarat. ”Kalau sekiranya tidak aman, ya saya mengungsi ke balai dusun,” tambahnya.

Terletak sekitar 9 kilometer dari puncak Semeru, Dusun Rowo Baung bersama Dusun Supit yang juga masuk Desa Pronojiwo, masuk kategori daerah sangat rawan dari bencana primer maupun sekunder Semeru. Bahaya primer berupa awan panas, aliran lava, lontaran bahan bom gunung api, lontaran material vulkanik, lapilli, pasir dan abu gunung api.

Bahaya sekunder berupa banjir lahar dingin atau lahar hujan, yaitu timbunan material vulkanik yang dibawa banjir akibat hujan.

Apalagi dua dusun itu berdekatan dengan dua sungai besar yang berhulu di lereng Semeru, yaitu Sungai Besut Sarat dan Sungai Besuk Bang yang disebut sungai laharan.

Longsor yang menyebar

Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Suwarto, menggambarkan potensi bencana yang ditimbulkan Gunung Semeru adalah ancaman erupsi Semeru, tanah longsor, dan aliran lahar yang menyebar dari gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu.

Adapun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setempat memprediksi curah hujan tinggi masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Artinya, ancaman tanah longsor dan banjir lahar dingin atau lahar panas yang menyebar masih potensial.

Longsor yang terjadi di tujuh titik beberapa waktu lalu misalnya, telah membuat jalur pendakian ke Gunung Semeru ditutup sejak 12 November 2010. Ketujuh titik itu antara lain ada di Batu Rejen, Blok Kelik, Arcopodo, dan sebagainya. Panjang longsoran antara 10-25 meter. ”Mudah-mudahan Maret nanti pendakian sudah bisa dibuka. Tapi, kita lihat dulu kondisi cuacanya,” kata Suwarto.

Banjir lahar dingin dan letusan Gunung Semeru, menurut Suwarto, disebabkan oleh kontur Semeru yang menciptakan semacam cekungan di puncak Mahameru (Puncak Semeru).

Cekungan ini menyebabkan lahar dingin dan panas akan mengarah ke besuk-besuk (sungai-sungai) di Desa Besuk, Pronojiwo Lumajang. Ada empat sungai yang menjadi aliran tetap lahar panas dan dingin Gunung Semeru, yaitu Besuk Bang, Besuk Kembar, Besuk Kobokan, dan Besuk Sat. Di empat sungai itu biasanya masyarakat beraktivitas mencari pasir.

Berbeda dengan gunung yang tak memiliki cekungan sebagai jalur lelehan lahar, tipe Semeru berpotensi menimbulkan banyak korban, karena aliran laharnya menyebar ke mana-mana. ”Selama ini kami dan pemerintah daerah mengeluarkan peringatan kewaspadaan bagi pencari pasir. Untuk permukiman warga, dipastikan tidak ada warga yang bermukim di sekitar sungai-sungai itu. Sudah ada larangan resmi bermukim di wilayah dengan radius 4-5 km dari sungai-sungai itu,” kata Suwarto.

Sementara untuk bencana letusan gunung berapi, pemantauan rutin dilakukan secara khusus oleh lembaga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Badan Penanggulangan Bencana Alam Pusat dan Daerah, serta oleh pos-pos pemantauan di kawasan TNBTS. Pemantauan itu, dilaporkan dan dikoordinasikan kepada gubernur, pimpinan kepala daerah, serta aparat terkait.

”Enclave”

Wilayah yang dinilai paling rawan terkena dampak letusan Semeru menurut pengelola TNBTS adalah dua desa enclave (desa di dalam kawasan, dan desa itu sudah terbentuk sebelum TNBTS dibuat). Dua desa enclave itu adalah Desa Ranupani, Lumajang (17 km dari Gunung Semeru), dan Desa Ngadas, di Kabupaten Malang (sekitar 25 km dari Gunung Semeru). Desa Ranupani berpenduduk 360 jiwa atau 187 keluarga, sedangkan Desa Ngadas dihuni 473 keluarga atau 1.822 jiwa.

Tentu saja bukan hanya dua dusun itu yang termasuk kawasan bahaya. Puluhan desa di sedikitnya enam kecamatan di Lumajang (Pronojiwo, Candipuro, Tempursari, Pasirian, Tempeh, Pasrujambe, Senduro) dan belasan desa di tiga kecamatan (Dampit, Tirtoyudo, Ampelgading), yang masuk Kabupaten Malang adalah kawasan bahaya bencana.

Bahkan kota Lumajang pun tidak benar-benar aman. Pada Agustus tahun 1909 kota ini dilanda banjir lahar dingin melalui daerah aliran sungai (DAS) Besuk Semut yang menelan korban 208 orang meninggal, 1.454 rumah rusak, dan 9.372 hektar sawah dan tegalan tertimbun lahar dingin. Sejak bencana tahun 1968 DAS Besuk Semut, Curah Lengkong, dan Kali Pancing tertutup sedimen sehingga tidak lagi jadi aliran utama lahar dingin. Sekarang, kata Pelaksana Tugas Bidang Perlindungan Masyarakat Badan Kesatuan Bangsa Lumajang, Paryono, aliran lahar ke tiga DAS utama yaitu Besuk Bang, Besuk Kembar, dan Besuk Kobokan.

TNBTS juga memiliki 60 desa penyangga di empat wilayah kabupaten yang berbatasan dengan wilayahnya, yaitu Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.

Desa penyangga ini adalah desa yang berbatasan dengan TNBTS dan diharapkan turut membantu menyelamatkan dan mengamankan kawasan. Pusat permukiman desa penyangga itu rata-rata lokasinya lebih dari 20 km dari batas wilayah terluar TNBTS.

Penyiapan infrastruktur

Pemerintah dan masyarakat paham bahwa tinggal di bawah kaki Semeru adalah berbahaya. Tetapi tidak mungkin memindahkan mereka. Maka yang dilakukan adalah menyiapkan masyarakat dan infrastruktur untuk menghadapi ancaman bencana.

Misalnya di Dusun Rowo Baung, penduduk sudah dilatih menghadapi bencana. Kalau bencana guguran awan panas, mereka sudah tahu harus lari menjauh ke arah kota. Apalagi sejak setahun lalu sudah ada jembatan yang menghubungkan dusun itu dengan daerah lain. Sebelumnya penduduk harus menyeberangi Sungai Besuk Bang. Sekarang, mayoritas penduduk juga memiliki sepeda motor, sehingga lebih lincah. Balai dusun pun difungsikan sebagai barak pengungsian, karena merupakan tempat tertinggi. ”Kami juga menyiapkan alat komunikasi seperti lonceng dan telepon seluler,” kata Waryanto, warga desa.

Masyarakat juga dilatih memahami tanda-tanda alam. Berdasar pengalaman, ancaman bencana terjadi pada Jumat Wage. Selain itu, warga memahami tanda-tanda alam. Kalau melihat di lereng Semeru gelap pertanda hujan, mereka harus segera meninggalkan sungai, tempat mayoritas warga Rowo Baung mencari nafkah sebagai penambang pasir dan batu. ”Biasanya kalau banjir, kami malah melihat untuk mengetahui tingkat bahayanya. Kalau berbahaya, kami mengungsi, kalau kecil tidak apa-apa. Malah kami senang karena berarti besok ada pasir lagi untuk ditambang. Bagi kami, banjir tidak cuma ancaman tetapi juga berkah,” kata Joko Santoso (30) yang lahir di Rowo Baung. Sebagai penambang pasir dan batu, dia bisa berpenghasilan Rp 130.000 per hari. Di dusun itu setiap hari tidak kurang dari 100 truk mengangkut pasir dan batu. Semeru juga memberi berkah, tanah yang sangat subur oleh guyuran abu vulkaniknya.

Faktor lumpur Lapindo

Pemerintah dan masyarakat telah memiliki tindakan preventif. Masyarakat misalnya, memelihara gumuk (bukit kecil buatan) yang dibangun sejak zaman Pemerintah Belanda sebagai tempat pengungsian. Selain mengandalkan Pos Pengamat Gunung Sawur yang selalu memonitor bahaya Semeru, penduduk juga membangun pos-pos pemantau banjir di sejumlah DAS. Menyiapkan pelbagai material dan peralatan penyelamatan jika terjadi bencana. ”Pokoknya sejak ada lumpur Lapindo, di sini tidak pernah terjadi banjir besar,” kata Atmini, kakek asli Dusun Kembangan, Desa Pronojiwo.

Petugas Pos Gunung Sawur, Arifin, juga mengingatkan walaupun gunung tertinggi di Pulau Jawa ini (Semeru) relatif stabil tetapi bukan berarti tidak mengancam.

Masyarakat pun menyadari untuk tidak pernah lengah. Lebih dari itu ada sikap yang harus mereka jaga, yaitu jangan bersikap sombong terhadap Semeru, yang menurut kitab Tantu Panggelaran, gunung ini dibawa Dewa Wisnu dari India untuk memantek Pulau Jawa agar tidak gonjang-ganjing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com