Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahanan Guantanamo Dihukum Seumur Hidup

Kompas.com - 27/01/2011, 09:13 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com — Tahanan Guantanamo yang pertama disidang di pengadilan sipil Amerika Serikat, Selasa (25/1/2011), dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas perannya dalam pengeboman dua kedutaan besar AS di Afrika tahun 1998.

Ahmed Ghailani, yang menjadi juru masak dan pengawal Osama bin Laden setelah pengeboman di Tanzania dan Kenya itu, meminta keringanan. Ghailani mengatakan, dia disiksa di sebuah kamp rahasia CIA setelah penangkapannya di Pakistan tujuh tahun lalu.

Namun, hakim Lewis A Kaplan di pengadilan federal New York memberikan hukuman maksimal. Dia mengatakan, apa pun yang diderita Ghailani ”tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan dan kengerian” yang disebabkan serangan-serangan yang menewaskan 224 orang dan mencederai ribuan orang itu.

”Mr Ghailani mengetahui dan bermaksud agar orang tewas sebagai hasil dari tindakannya,” kata Kaplan, menolak argumen pembela bahwa pria berusia 36 tahun itu hanyalah korban dalam rencana tersebut.

”Hari ini adalah mengenai keadilan, bukan hanya bagi Mr Ghailani, melainkan juga bagi para korban kejahatannya,” kata hakim itu.

Ghailani bulan lalu dinyatakan terbukti berkonspirasi untuk menghancurkan gedung-gedung pemerintah. Pihak penuntut mengatakan, dia membeli sebuah truk yang digunakan dalam serangan di Tanzania, menyimpan dan menyembunyikan detonator, melindungi seorang pelarian Al Qaeda, serta menyerahkan ratusan kilogram bahan peledak TNT kepada sel teror Afrika.

Persidangannya di sebuah gedung pengadilan di Lower Manhattan dipandang sebagai ujian bagi tujuan Presiden Barack Obama untuk menyidangkan tahanan teror lainnya—termasuk dalang serangan 11 September, Khalid Sheik Mohammed—di bumi AS.

Penyidangan Ghailani dianggap sebagai sebuah keberhasilan bagi pendukung pengadilan sipil bagi tahanan di penjara di pangkalan AU AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Namun, para penentangnya mengatakan, penyidangan tersebut memperlihatkan bahwa persidangan semacam itu terlalu riskan.

Jaksa Agung Eric Holder mengatakan, vonis tersebut ”kembali memperlihatkan kekuatan sistem peradilan AS dalam membuat para teroris mempertanggungjawabkan tindakan mereka”.

Namun, Ketua Komisi Pengadilan DPR AS Lamar Smith menyebut kasus itu nyaris sebagai sebuah bencana karena Ghailani hanya terbukti pada satu dari 285 dakwaan.

Guantanamo pernah menjadi tempat hampir 800 tahanan, sebagian besar tersangka militan yang ditangkap di dan sekitar Afganistan. Sebagian besar telah diserahkan kepada negara-negara lain, tetapi masih ada sekitar 170 tahanan. Lima tahanan telah dinyatakan terbukti bersalah di Guantanamo melalui pengadilan militer.

Ghailani memilih tidak berbicara di ruang sidang yang penuh sesak hari Selasa. Sebelum vonis, dia menundukkan kepala, menutup mata, dan mencengkeram tepi meja pembela dengan kedua tangannya. Sementara para korban yang selamat dan kerabat para korban yang tewas memberikan pernyataan, sebagian meminta hakim tak memberikan keringanan.

”Rasa pedihnya saya rasakan setiap hari,” kata Sue Bartley, yang kehilangan suaminya, Julian Leotis Bartley Sr, yang waktu itu Konsul Jenderal AS untuk Kenya, dan putranya, Julian ”Jay” Bartley Jr. Mereka termasuk di antara 12 orang AS yang tewas dalam pengeboman tersebut.

James Ndeda, seorang Kenya yang cedera parah dan terus mengalami masalah kesehatan karena pengeboman itu, mengatakan, seandainya dia hakim, dia akan ”memvonis Ghailani untuk dikirim ke neraka”.

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah mengatakan, pemerintahan Obama bertekad menutup Guantanamo. (AP/AFP/DI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com