Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arab Sedih, tetapi Pasrah

Kompas.com - 10/01/2011, 07:33 WIB

Muncul rumor, penjajah Inggris memisahkan Sudan dari Mesir dengan mendukung deklarasi negara Sudan merdeka pada tahun 1956. Sebagai kompensasi untuk meredam kemarahan Mesir dan sekaligus memuaskan Sudan utara saat itu, Inggris menggabungkan Sudan selatan dengan Sudan utara. Kini setelah lebih dari 50 tahun pemisahan Mesir dan Sudan, kesatuan Sudan tidak bertahan pula.

Sudan selatan akhinya mencoba memisahkan diri dari Sudan utara dengan cara elegan dan konstitusional sesuai dengan kesepakatan damai Nifasha di Kenya tahun 2005. Kesepakatan damai tersebut antara lain memberikan hak untuk menentukan sendiri bagi rakyat Sudan selatan, setelah enam tahun sejak penandatanganan kesepakatan itu.

Bisa jadi, jalan pemisahan itu justru merupakan cara untuk menyelamatkan Sudan meskipun masih banyak isu yang menggantung, seperti isu sengketa wilayah Abyei yang kaya minyak itu.

Ini adalah wilayah yang menjadi faktor utama perselisihan di samping berbagai faktor lainnya. Di Abyei, segala kepentingan bertemu dan melahirkan bentrokan yang berpotensi memecah Sudan. Faktor kekuatan domestik dan asing, termasuk peran korporasi perminyakan global, turun bermain.

Pemimpin lemah

Kasus Sudan sekaligus mengingatkan kita kembali tentang berbagai konflik di seluruh dunia yang pada umumnya terjadi di wilayah yang kaya dengan sumber daya mineral. Ketiadaan kepemimpinan yang kuat, alias lemahnya pemerintah, hanya memuluskan niat asing untuk memecah belah negara kaya minyak.

Pemisahan Sudan juga menimbulkan masalah kewarganegaraan menyangkut etnis Arab yang tinggal di selatan dan etnis Afrika yang bermukim di utara. Jika terpecah, Sudan juga memiliki masalah soal pembagian beban utang luar negeri serta aset pembagian antara Sudan utara dan selatan.

Namun, Sudan selatan tidak hirau akan segala persoalan itu. Presiden de facto wilayah Sudan selatan yang juga Wakil Presiden negara kesatuan Sudan, Salva Kiir, menegaskan soal komitmen untuk hidup berdampingan secara damai antara Sudan selatan dan utara.

Ia menambahkan, ”Mulai hari ini tidak ada lagi perang.”

Presiden Sudan Omar Hassan Al Bashir ketika mengunjungi Juba (ibu kota Sudan selatan), Selasa pekan lalu, juga menyatakan, ”Sudan adalah negara pertama yang akan mengakui negara baru Sudan selatan jika rakyat wilayah itu memilih memisahkan diri.”

Komentar positif dari dua pemimpin tersebut tentu sangat jauh lebih baik dibandingkan dengan jalan perang yang dipilih kedua kubu selama hampir 50 tahun terakhir ini.

Ke depan, Sudan utara bisa lebih fokus pada isu-isu domestiknya, seperti isu Darfur, sistem politik, dan ekonomi. Sudan selatan juga bisa segera membenahi diri dengan melakukan rekonsiliasi antara suku-suku di selatan dan melakukan pembangunan ekonomi yang menjadi tantangan terberat bagi negara baru itu. (MTH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com