YOGYAKARTA, KOMPAS -
Ketua Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada (UGM) Junun Sartohadi mengatakan, penelitian-penelitian yang dihasilkan terdiri atas enam bidang, antara lain bahaya Merapi, tanggap darurat, menghidupkan kembali masyarakat sekitar puncak Merapi, tata ruang kawasan Merapi, dan persiapan menghadapi erupsi selanjutnya.
”Penelitian-penelitian ini awalnya dari penelitian pribadi rekan-rekan di UGM yang kemudian disatukan dalam satu forum agar bisa saling melengkapi,” katanya di sela-sela Lokakarya Tanggap Bencana Merapi yang diselenggarakan UGM pada 21-22 Desember di Yogyakarta.
Rencananya, hasil lokakarya akan disampaikan kepada pemerintah pusat sebagai masukan perencanaan di daerah Gunung Merapi pada masa mendatang.
Beberapa topik penelitian itu adalah kajian sebaran awan panas Merapi, zonasi bahaya merapi melalui pendekatan geomorfologi tanah, kajian kerusakan infrastruktur transportasi pascaerupsi, kajian struktur sosial masyarakat pascaerupsi, serta daya dukung lahan pascaerupsi untuk kegiatan agro dan perikanan.
Menurut Junun, erupsi Merapi terakhir mengungkap sejumlah pengetahuan baru. Salah satunya melengkapi dokumentasi periodisasi 100 tahunan erupsi Gunung Merapi yang mempunyai pola berbeda dari erupsi empat tahunan.
Secara terpisah, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono mengatakan, Gunung Merapi mempunyai potensi sebagai laboratorium alam. Berbagai penelitian masih tersimpan dari alam dan kehidupan masyarakat di sekitar puncak Merapi.
Senada dengan itu, Guru Besar Geologi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta Sari Bahagiarti mengatakan, semua gunung api di Indonesia menyimpan potensi menjadi laboratorium alam. Sebab, setiap gunung api mempunyai karakter berbeda.