Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Nobel Perdamaian

Kompas.com - 10/12/2010, 05:08 WIB

Dengan pergeseran tersebut, Krebs melihat bahwa Hadiah Nobel Perdamaian kini cenderung mengadopsi pendekatan ”aspirasional” relatif terhadap pendekatan pencapaian. Individu atau organisasi yang bahkan baru mewujudkan sedikit dari tujuan mereka patut diganjar Hadiah Nobel Perdamaian demi menghasilkan suatu dampak politik positif. Dengan demikian, penganugerahan Nobel Perdamaian adalah tindakan politik.

Geir Lundestad, Sekretaris Komite Nobel Norwegia, menyebutkan bahwa jika hadiah Nobel Perdamaian dimaksudkan untuk menegakkan perdamaian dunia, jelas tujuan tersebut gagal. Namun, dalam keterbatasannya, kita tidak mungkin mengabaikan peran menentukan Hadiah Nobel Perdamaian.

Misalnya, terdapat perkembangan positif di Indonesia dan Timor Leste setelah Nobel Perdamaian 1996 dianugerahkan kepada Uskup Belo dan Ramos- Horta. Akan tetapi, tidak jarang rezim-rezim penindas justru semakin brutal terhadap penerima Nobel Perdamaian, sebagaimana kasus Andrei Sakharov (1975) di Uni Soviet atau Shirin Ebadi (2003) di Iran.

Dengan implikasi tersebut, orang tidak dapat mengabaikan signifikansi Hadiah Nobel Perdamaian bagi perubahan politik. Pada sisi lain, dengan kesadaran bahwa penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian adalah suatu tindakan politik, kehendak untuk mendorong perubahan patut ditimbang sebagai suatu pendekatan yang tetap sejalan dengan kehendak Alfred Nobel, terutama ”upaya terbesar atau terbaik” untuk kesejahteraan manusia.

Sikap China

Pemerintah China kerap digugat dunia karena kebijakan-kebijakan brutal mengekang kebebasan warga negaranya. Pada 1989, misalnya, pemberangusan gerakan protes di Lapangan Tiananmen berujung pembantaian oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Tetapi, Liu Xiaobo percaya, gerakan non-kekerasan efektif menekan Pemerintah China dan mencegah pertumpahan darah.

Intensitas gerakan Liu sangat mengusik Pemerintah China yang memandangnya sebagai upaya subversi terhadap kekuasaan negara. Untuk Piagam 08, yang dimaksudkan sebagai suatu tuntutan bagi reformasi politik dan penghargaan HAM, Pemerintah China menangkap Liu. Pada 2009, pengadilan Beijing menjatuhkan hukuman penjara 11 tahun ditambah pencabutan hak politik dan kewargaan Liu.

Komite Nobel Perdamaian menyebut bahwa penghargaan diberikan kepada Liu untuk perjuangan panjang dan non-kekerasan yang diupayakannya bagi HAM di China. Ini semakin menunjukkan kecenderungan Komite Nobel Perdamaian mendorong perubahan politik internal.

Tanggal 10 Desember 2010 mestinya menjadi hari yang membanggakan bagi Liu dan dunia, mengingat perjuangan untuk perdamaian dunia belum padam menghadapi despotisme. Tetapi, Pemerintah China menghalangi kehadiran Liu atau kerabatnya, yang mengingatkan pada larangan rezim Nazi terhadap jurnalis Carl von Ossietzky pada 1936.

Sejak awal Pemerintah China menentang penghargaan bagi Liu, yang mereka sebut sebagai intervensi terhadap masalah hukum China. Terakhir bahkan mereka mencemooh Komite Nobel Norwegia sebagai sekawanan badut. Pemerintah China juga secara agresif menekan negara-negara di dunia untuk tidak menghadiri perayaan penerimaan Hadiah Nobel 2010. Selain China, banyak negara juga telah menyatakan ketidakhadirannya dan sangat mungkin Indonesia juga tidak akan mengirimkan duta besarnya pada acara tersebut.

Ketidakhadiran sebagian politisi dan diplomat dalam seremoni penerimaan Hadiah Nobel jelas tidak akan menurunkan signifikansi Nobel Perdamaian. Sebab, substansi perdamaian dunia lebih ditentukan oleh tindakan nyata memenuhi tuntutan keutamaan nilai-nilai kemanusiaan ketimbang perayaan itu sendiri.

Semoga sejarah tetap berpihak pada kebebasan dan perdamaian dunia tidak berakhir semata sebagai suatu mimpi.

ARIF SUSANTO Aktif di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com