Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang Kota "Lebai" dan Hipokrit

Kompas.com - 01/12/2010, 09:44 WIB

Jalur sepeda. Bike to work. Bagaimana mungkin pergi dan pulang kerja di kota besar dengan mengayuh sepeda? Tidak diserempet angkutan kota atau bus Damri saja sudah bersyukur. Belum disebut kemungkinan mandi keringat, wajah menjadi cemong kena asap kendaraan bermotor lain, dan repotnya berganti pakaian setelah tiba di kantor. Sehat? Fisik lu barangkali menjadi lebih sehat, tetapi jiwa lu niscaya lebih menderita.

Kerinduan mengayuh sepeda hanya dibuat-buat. Setelah kerinduan itu terpenuhi dengan naik sepeda berkeliling kompleks perumahan saban hari Ahad, tak akan ada lagi eksekutif yang mau mendayung sepeda. Mana mungkin mereka memilih pakai sepeda kalau di garasi ada Alphard yang siap mengantarkan ke mana-mana. Mungkin beberapa orang punya hubungan batin dengan sepeda karena dulu bersepeda ke sekolah, termasuk aku. Akan tetapi, percayalah, setelah tinggal dan bekerja di kota besar, kenangan terhadap sepeda pasti hilang sama sekali.

Hebatnya (atau anehnya) lagi, warga kota yang hendak bersepeda menuntut supaya dibuatkan jalur sepeda atau jalan protokol ditutup seharian terhadap kendaraan bermotor! Mereka ingin bersepeda di Dago pada hari Minggu. Kaus ketat kuning kenari, helm ”alien”, dan sepatu plastik Crocs warna jingga, dandanan Pak Umar, CEO PT M2S2 (Maju Mundur Suka-suka), tampak seperti bintang film Hollywood yang hendak ikut Tour de France.

Mungkin om-om itu hanya kuat mengayuh seperempat jam. Melihat paha mulus ABG yang naik-turun menggenjot pedal sepeda, napas si om memburu tidak keruan. Akhirnya, pagi itu Om Piet dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung ketika Santi mengibaskan rambutnya dan mengedipkan mata kepadanya. 

Pingsan lantaran macet 

Realistis sajalah. Bandung itu kota yang telanjur berantakan. Tidak mungkin mengubahnya menjadi ramah lingkungan, ijo royo-royo, dan berharap setiap pagi kita bisa menghirup harum pepohonan serta mendengarkan kicauan kutilang. Kota menjadi lautan beton sudah wajar. Bila Telkom, BCA, atau Kementerian Lingkungan Hidup sekalipun akan membangun kantor di Bandung, mereka pasti mendirikan gedung berlantai vertikal ke atas. Kagak mungkin mereka membangun secara horizontal dan menyiapkan taman bunga, lapangan rumput, atau arena bermain anak-anak di halaman gedung.

Bandung macet? Sudah pasti. Sahabat baikku sampai pingsan dalam mobil karena terjebak macet. Sehari semalam sebelumnya ia sudah berpuasa karena harus memeriksakan darah dan urine ke rumah sakit. Lewat jalan tol sekalipun tidak membantu kita mengurai kemacetan. Sudah lemah, berjam-jam kepanasan di tengah jalan tol pula, ia tak sadarkan diri. Sudah begitu, mobilnya tidak dapat bergerak ke mana-mana. Pulang pun susah. Setelah mengalami kejadian tersebut, sahabatku langsung meninggalkan Bandung. Jika ia sampai tewas hari itu, terus terang aku pun tidak tahu harus menuntut siapa.

Bandung banjir? Lumrahlah! Percuma kita menyalahkan pemerintahan kota dan kabupaten serta pabrik yang sudah berjanji menggali Sungai Citarum. Jalan keluarnya adalah pindah ke apartemen dan cari kerja yang boleh libur bila banjir.

Bandung banyak pengamen? Ya, iyalah. Di mana lagi tempat cari uang yang lebih mudah jika bukan di kota? Kencleng-kencleng di depan toko saja bisa dapat minimal Rp 500 dari tiap toko. Mona yang berani berpakaian seronok dan memeletkan lidah malah bisa dapat Rp 5.000 dari pengemudi yang gatal.

Pindah saja

Oh my God, kalau mau bersepeda dengan riang gembira mengapa memilih tinggal dan bekerja di Bandung? Pindah saja ke Pameungpeuk, Cidaun, atau Wonosobo, dan kayuhlah sepeda setiap hari sampai bengek. Lagi pula, kalau semua perusahaan di Bandung mendukung program bersepeda, aktivitas kota akan melamban dengan dramatis. Kinerja karyawan anjlok karena seluruh energi habis terbuang untuk mendayung sepeda. Dalam hitungan bulan, perusahaan yang seluruh karyawannya bersepeda ke kantor pasti gulung tikar.

Jalan menuju Lembang selalu macet, lebih-lebih pada akhir pekan. Akan tetapi, semua warga Bandung ingin pergi ke Lembang bila libur panjang tiba. Jalan Setiabudi dilaporkan macet 4 kilometer, tetapi warga Bandung tak henti-henti mengalir ke Lembang setiap Sabtu. Jika demikian, mengapa tidak pindah saja ke Lembang?

Orang kota, selain lebai (overacting) dan hipokrit, juga sombong. Wali kota mengimbau orang daerah jangan pindah ke Bandung. ”Bandung sudah sumpek. Kalian bercocok tanam saja di desa,” katanya. Numpang tanya Pak, kalau bukan Kirun dan Somat yang bekerja menjadi buruh untuk membangun gedung-gedung di Bandung, memangnya siapa yang bangun Bandung? Apa para eksekutif yang berdandan gaya metroseksual bisa jadi tukang batu?

Mari kita menikmati saja segala kelebihan dan kekurangan kota tanpa banyak bermimpi yang muluk-muluk. Jika banyak uang, tinggal di mana saja menyenangkan. Anda bisa membeli rumah di Ciumbuleuit atau Hegarmanah, bukan? Kalau Anda kaya, tidak perlu bekerja. Jadi, tak perlu pusing memilih menggunakan sepeda atau mobil ke kantor. Khawatir macet, jangan keluar rumah. Kan bisa menelepon 14022 tiap hari.

LIE CHARLIE Pegawai Swasta di Bandung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com