Kairo, Kompas
Kementerian Luar Negeri Gambia menegaskan, semua proyek kerja sama dengan Iran dibatalkan. Gambia adalah salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim di Afrika barat, kawasan yang dikenal sebagai pendukung Iran.
Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Afrika barat antara lain Senegal, Nigeria, Guinea, Guinea-Bissau, Niger. Selama ini Gambia memiliki hubungan baik dengan Iran.
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad selalu memilih wilayah Afrika barat bila berkunjung ke Benua Afrika atau singgah di wilayah itu jika melakukan perjalanan ke Amerika Latin.
Gambia yang berpenduduk 1,7 juta jiwa selalu mendukung hak Iran untuk memiliki program nuklir di berbagai forum internasional. Iran dan Gambia sama-sama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Keputusan Gambia menimbulkan berbagai spekulasi. Isu penyelundupan senjata yang berhasil digagalkan di pelabuhan Lagos, Nigeria, Oktober lalu, ditengarai menjadi penyebab pemutusan memutus hubungan diplomatik itu. Dokumen pengiriman senjata ilegal itu menerangkan senjata itu berasal dari Iran dengan tujuan Gambia.
Aparat keamanan dan intelijen Nigeria saat itu menemukan 13 peti kargo berisi rudal, granat tangan, dan jenis bahan peledak di sebuah kapal di pelabuhan Lagos. Peti-peti kargo itu disembunyikan di bawah lantai kapal.
Israel menuduh senjata-senjata dikirim dari Iran via Nigeria dengan tujuan akhir ke pihak Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Jalur Gaza. Israel disinyalir sempat mengirim agen Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel) ke Nigeria untuk mencari tahu asal dan tujuan akhir senjata itu.
Mossad juga meminta izin Pemerintah Nigeria, melalui perantaraan sebuah negara Eropa, untuk menyita atau menghancurkan senjata itu. Nigeria menolak permintaan Mossad.
Pada awal tahun 2009, Mossad pernah menghancurkan konvoi 13 truk di Sudan, pembawa senjata asal Iran untuk tujuan Jalur Gaza.
Setelah tertahan beberapa pekan di Lagos, pihak Iran meminta Pemerintah Nigeria mengizinkan senjata itu dikirim ke Gambia. Gambia pasca-pemilu presiden 2006, yang dimenangi Presiden Yahya Jammeh, sering mengalami ketegangan politik akibat perpecahan di kalangan elite politik dan militer di negara paling kecil di Afrika barat itu.
Segera setelah pemilu presiden tahun 2006 itu, sempat terjadi upaya kudeta yang gagal oleh sejumlah jenderal militer terhadap Presiden Yahya Jammeh. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Gambia berhasil lari ke luar negeri setelah upaya kudeta gagal tersebut.
Sejak itu, Presiden Jammeh menjalankan praktik pemerintahan dengan tangan besi untuk menumpas kelompok pembangkang. Presiden Jammeh berkuasa di Gambia sejak tahun 1992 melalui kudeta. Dia kemudian memenangi pemilu tahun 1996 dan 2006. Dia kini menjadi salah satu pemimpin Afrika yang paling lama berkuasa.
Presiden Jammeh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Diduga, hal tersebut terkait dengan keterlibatan Iran dalam mendukung lawan-lawan politik Presiden Jammeh meskipun Gambia tidak menyebutkan hal itu secara terus terang.