Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muka Buruk Cermin Dibelah

Kompas.com - 22/10/2010, 11:49 WIB

KOMPAS.com - AS menghadapi multidefisit, perdagangan, anggaran, hingga pengaruh geopolitik. AS mencapai titik bahaya bahwa semua defisit itu tak bisa selamanya ditutupi dengan utang yang bersumber dari pasar uang dan pasar modal. Bahkan, dana-dana dunia berpaling ke negara berkembang.

Ekonomi AS, yang terjerembap karena kebangkrutan korporasi dekade 2000-an, menyebabkan pengangguran meningkat. Resesi yang membangkrutkan sejumlah warga AS menjadi salah satu penyebab kekalahan Republik dari Demokrat pada pemilu 2008.

Pada masa Presiden AS Barack Obama, ekonomi AS mulai bangkit karena mengucurkan dana talangan 1,8 triliun dollar AS ke korporasi bangkrut. Suntikan dana tidak cukup untuk membangkitkan ekonomi dari kehancuran sektor perumahan dan kejatuhan korporasi.

Menjelang pemilu Kongres, November 2010, Partai Republik, penyebab bolongnya kantong negara AS di bawah George W Bush, berperilaku seperti ”maling teriak maling”. Kegagalan pemulihan ekonomi walau sudah banyak langkah bagus yang dilakukan teknokrat AS, dimainkan oleh Partai Republik.

Ada sindiran yang mengumpamakan Obama seperti teh celup, yang saatnya dibuang setelah dipakai, yang digemakan oleh gerakan tea party. Ini bukanlah gerakan akar rumput.

Harian The Salt Lake Tribune edisi 21 Oktober menuliskan, di dalamnya ada miliuner AS, David Koch, dan saudaranya, Charles Koch, yang dekat dengan Dick Armey (Republik), mantan Ketua DPR AS. Gerakan tea party juga didukung miliuner lain, seperti Robert Rowling dan Trever Rees-Jones, keduanya raja minyak, serta Rupert Murdoch, pendukung Republik.

Perebutan kursi di Kongres AS dan Gedung Putih pada 2012 adalah program utama mereka.

Kelesuan ekonomi yang mereka suarakan tampaknya berterima di mata warga AS.

Ketakutan Krugman Paul Krugman, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008, khawatir akan sepak terjang politik Republik. Peraih Hadiah Nobel 2001, Joseph E Stiglitz, juga waspada. Salah satu peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2010, Peter A Diamond, pendukung stimulus ekonomi Obama, menyatakan, pemulihan ekonomi memerlukan waktu.

Warga AS tidak cukup sabar. Ekonomi, ekonomi, dan ekonomi adalah jeritan hati mereka. Obama mencoba mendongkrak ekonomi dengan melancarkan program pembangunan infrastruktur, tetapi terhalang pendanaan karena negara sudah berutang 13 triliun dollar AS.

AS kemudian mencoba mencanangkan penggandaan ekspor dalam lima tahun, yang disebut sebagai ”Inisiatif Bernanke”, mengambil nama Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke.

Ekspor AS melesu akibat persaingan dengan China. Dari sini muncul tuduhan, China mengalami peningkatan ekspor karena memanipulasi kurs yuan (6,8 yuan per dollar AS). AS menuduh kurs yuan dibuat lebih rendah 40 persen daripada nilai seharusnya. Ini tak salah juga. Muncullah ”perang kurs”.

Namun, Maurice Obstfeld dari Berkley University dan Kenneth Rogoff dari Harvard University setahun lalu sudah mengingatkan, kegalauan ekonomi AS bukan karena China.

Mereka menuliskan makalah berjudul ”Imbalances and the Financial Crisis: Products of Common Causes” pada November 2009, yang dipresentasikan di seminar ”Federal Reserve Bank of San Francisco Asian Economic Policy Conference”.

Intinya, mereka berdua menyimpulkan, ekonomi AS kacau karena spekulasi berlebihan di sektor perumahan serta akumulasi defisit perdagangan dan anggaran sejak almarhum mantan mantan Presiden AS Ronald Reagan. Penyebab lain aset toxic yang merusak kepercayaan bursa. Deregulasi menyebabkan pasar liar dan korporasi berbisnis di luar kendali. Intinya, dua ekonom ini mengingatkan, ”jika muka buruk, janganlah cermin yang dibelah”. (MON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com