Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran untuk Malaysia

Kompas.com - 04/09/2010, 04:44 WIB

Pengamanan perbatasan darat belum memadai. Kita bisa kehilangan jutaan hektar hutan di Kalimantan karena pengawasan perbatasan tak efektif. Misalnya, di sepanjang perbatasan tak ada akses jalan yang memudahkan pembuatan tapal meski dana proyeknya berkali-kali digelontorkan.

Kita kurang mampu menjaga halaman rumah sendiri. Sejak kehilangan Sipadan-Ligitan, terungkap fakta tak enak: kita ibarat ”rumah tanpa sertifikat” karena peta Inggris (eks penjajah Malaysia) lengkap, sementara Belanda tak meninggalkan bukti sahih.

Ketegangan dengan Malaysia terjadi sejak insiden di Ambalat tahun 2005. Sejak itu, muncul insiden lain seperti pencurian batik dan lagu ”Rasa Sayange”. Selama lima tahun terakhir kita terbiasa punya tetangga yang provokatif.

Mengapa mereka begitu? Jawabannya bukan teka-teki: kita lemah selama era Reformasi ini akibat korupsi sistemik yang terjadi di birokrasi yang bertanggung jawab atas pengamanan perbatasan.

Lebih dari itu, kita tak punya alutsista memadai untuk menjaga halaman sendiri. Tak ada daya penggentar (deterrent power) yang kredibel untuk menangkal provokasi Malaysia, Singapura, dan Australia.

Pak Habibie melecehkan Singapura sebagai ”a little red dot”, Gus Dur mengancam stop ekspor air ke negeri pulau itu. Terhadap Malaysia, kita tak melakukan apa pun karena mitos ”kakak beradik” atau ”bangsa serumpun”.

Berhubung alutsista lemah, kita hanya bisa terlibat dalam ”balance of terror” lawan Malaysia. Tegang hanya sebentar, sehabis itu ”main remis” lagi, seperti dua pecatur amatir memelototi papan catur semata.

Bung Karno melancarkan konfrontasi karena punya ratusan pesawat tempur, puluhan kapal perang, dan serdadu penyusup ke Malaysia. Pak Harto menarik duta besar dari Filipina dan Australia atau menyetop forum menlu ASEAN-Uni Eropa karena isu Timor Timur.

Mereka menempatkan diri sebagai pemimpin middle power yang disegani. Mereka menangkap aspirasi rakyat dan institusi-institusi lain–termasuk TNI dan Kemlu–sehingga menghasilkan keputusan utuh, bulat, dan kompromistis bagai kotak hitam pesawat.

Dan, mereka mengambil keputusan dalam situasi krisis yang butuh kepemimpinan tegas serta jadi panutan. Proses pengambilan keputusan politik luar negeri mestinya mencerminkan konsensus spektrum kekuatan politik seluas mungkin—bukan hanya kepentingan presiden.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com