Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Akar Kriminalitas di Afsel

Kompas.com - 03/08/2010, 06:52 WIB

KOMPAS.com — "Semua orang sekarang memikirkan dirinya sendiri. Yang kuat semakin kuat, yang lemah tambah susah. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin kesulitan."

Pernyataan itu disampaikan oleh seorang insinyur, Philip Treeby, warga Pretoria, Afrika Selatan (Afsel), yang mengaku resah dengan keadaan negerinya kini. Menurutnya, pemerintah kurang mililiki program yang jelas dalam pemerataan, bahkan cenderung korup. Kebersamaan masih semu karena masih kuatnya kecurigaan.

"Setiap orang akan berusaha memikirkan dirinya sendiri. Jika mentok, maka orang bisa berbuat apa saja untuk menyelamatkan hidupnya," tambahnya.

Pemerataan yang belum bagus hanya menjadi salah satu akar kriminalitas di Afsel. Saat ini, menurut peneliti University of Cape Town, Haroon Bhorat, pemerataan masih jauh dari yang diharapkan.

Kemiskinan memang menurun, tapi tak terlalu signifikan. Kesenjangan sosial masih sangat tinggi. Kesempatan kerja masih sulit sehingga wajar jika banyak yang terpaksa melakukan aktivitas kriminal demi menyambung hidup.

Menurut Bhorat, saat ini masih ada 57 persen penduduk yang penghasilannya di bawah 322 rand (sekitar Rp 394.610) per bulan. Itu penghasilan yang amat minim, mengingat biaya hidup di Afsel sangat tinggi. Adapun masyarakat yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan masih 49 persen.

Korupsi masalah lain. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi amat tinggi di Afsel. Beberapa anggota masyarakat selalu menyalahkan pejabat yang korup jika ditanya persoalan pemerataan ekonomi.

Belum lagi masalah nepotisme yang mulai menjadi keresahan masyarakat. Orang coloured, misalnya, merasa kurang mendapat kesempatan yang sama. Adapun orang kulit hitam dan kulit putih mendapat privilese dalam kesempatan kerja.

"Anda hitung berapa orang coloured di parlemen dan di pemerintahan. Sangat sedikit. Ketika mencari kerja, orang kulit hitam dan putih lebih didahulukan," tuduh Kop, orang coloured asal Cape Town yang akhirnya menjadi anggota geng karena kesulitan mencari kerja.

Sementara itu, mitos lama juga ikut menyumbang munculnya kriminalitas di negeri itu. Tradisi yang mengagungkan maskulinitas membuat sebagian pria sering mengekspresikan maskulinitasnya dengan cara memerkosa atau menindas wanita, atau menindas yang lemah. Bahkan di Soweto, sering pemerkosaan dilakukan di tempat umum. Ini untuk menunjukkan betapa dia dominan terhadap wanita.

Tradisi kekerasan juga amat berpengaruh. Baik masyarakat tribal maupun tradisional punya tradisi kekerasan seperti itu. Selama pemerintahan apartheid, kekerasan pun banyak. Akibatnya, sadar atau tidak, masyarakat masih terbiasa dengan kekerasan. Maka dari itu, wajar jika pembunuhan di Afsel sangat tinggi, rata-rata 50 pembunuhan terjadi dalam sehari atau 0,496008 pembunuhan dari 1.000 orang (statistik nationmaster.com).

Soal pemerkosaan, Afsel juga termasuk tertinggi di dunia. Bahkan, Afsel sampai disebut ibu kota pemerkosaan karena banyaknya kasus pemerkosaan di negeri itu.

Selain itu, banyaknya imigran gelap ke Afsel juga menjadi salah satu penyebab kriminalitas. Saat ini, ada 5 juta imigran gelap di Afsel. Sebanyak 3 juta di antaranya dari Zimbabwe.

Mereka rata-rata hidup di masyarakat kumuh di Afsel dan tak memiliki pekerjaan. Sebagian dari para imigran itu bekas tentara di negaranya. Karena harus menyambung hidup, mereka akhirnya terjun di dunia kriminal.

Daerah Hillsbrow, Johannesburg, menjadi salah satu kantong imigran yang juga kantong kriminalitas. Bahkan, daerah ini sangat ditakuti hampir semua orang di Afsel karena angka kriminalitasnya sangat tinggi.

Banyaknya imigran gelap yang masuk juga tak lepas dari sifat korup oknum aparat di perbatasan. Menurut beberapa orang Afsel, polisi perbatasan mudah disogok sehingga banyak imigran gelap mudah masuk. Orang-orang Zimbabwe yang susah di bawah pemerintahan Robert Mugabe banyak yang mencoba mencari peruntungan ke Afsel. Mereka menyiapkan bayaran khusus kepada polisi perbatasan agar bisa masuk ke Afsel.

Sementara itu, penanganan pemerintah terhadap gangster juga tak terlalu tegas. Bahkan, gangster seperti tumbuh subur. Mereka biasanya menjalankan bisnis narkoba. Bahkan, sudah jadi rahasia umum pula bahwa sebagian oknum polisi ikut membantu atau mengambil keuntungan dari para gangster.

Mantan Presiden Interpol Afsel yang juga mantan Komisioner Polisi Nasional Afsel, Jackie Selebi, bahkan sampai disidang. Dia didakwa menerima suap dari seorang pemimpin geng di Johannesburg, Glenn Agliotti. Jika pimpinan polisi saja bisa kena suap, maka bisa dibayangkan bagaimana polisi-polisi di bawahnya.

"Yang jadi persoalan di negeri ini, sering kali polisi tidak menangkap orang yang bersalah, tapi justru menangkap orang yang tak bersalah. Anak saya pernah merasakannya. Dia ditangkap saat belanja baju. Polisi sengaja menginterogasinya secara berbelit-belit hanya agar anak saya mengeluarkan duit," keluh Chris Mullins.

Karena kehidupan gangster sudah meresahkan, masyarakat sempat membentuk ormas bernama People Against Gangster and Drug (PAGAD). Namun, gerakan mereka kurang mendapat sambutan atau dukungan, terutama dari pihak keamanan. Akibatnya, gema mereka tenggelam oleh angka kriminalitas yang makin tinggi dan sepak terjang gengster yang makin menjadi.

Itu beberapa akar kejahatan di Afsel yang tentu bisa lebih banyak lagi. Pemerintah Afsel sendiri menyadari kriminalitas di negerinya sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Bahkan, terakhir, mereka sampai mengusulkan tembak di tempat untuk membuat para pelaku jera.

Namun, ide itu masih kontroversial dan ada beberapa pihak yang menentangnya. Pasalnya, kriminalitas di Afsel bukan masalah takut atau tidak kepada hukuman berat. Banyak akar persoalan yang mesti dipelajari dan diatasi secara bijak. Dengan kata lain, menembak mati seorang kriminal tak akan menghapuskan kriminalitas di seluruh negeri.

"Kalau hal itu diterapkan, para kriminalis akan semakin keras melawan. Mereka sangat mudah mendapatkan senjata api. Bisa jadi, para kriminalis akan menerapkan prinsip yang sama. Tembak dulu polisi sebelum mereka tertembak," ungkap Chris Mullins.

Mematikan pohon yang tak berguna memang tak bisa sepotong-potong atau parsial. Bahkan, kalau perlu, pohon mati itu harus bisa dicabut sampai ke akar-akarnya. Ini pekerjaan rumah Afsel, mempelajari dan menemukan akar persoalan, kemudian mencari solusi atau formula mengatasinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com