Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaza nan Indah nan Mengenaskan

Kompas.com - 08/07/2010, 05:14 WIB

Makarim Wibisono

Ada banyak jalan menuju Roma, ungkapan ini juga mengena untuk Gaza karena memang ada banyak jalan menuju Gaza. Misalnya jalan yang ditempuh Mavi Marmara bersama armada Freedom Flotilla yang ingin merapat damai ke pantai Gaza lewat jalur laut. Jalur darat pun bisa ditempuh dari berbagai jalan, misalnya lewat Amman, Jordania, Tepi Barat, atau Rafah wilayah terdepan Mesir sesudah melewati El Arish.

Persoalahnya adalah jalan-jalan tersebut telah ditutup rapat oleh Israel sejak Juni 2007 dalam rangka blokade ketat menekan Hamas di Gaza. Dengan alasannya sendiri, Mesir juga telah ikut serta melarang lalu lintas orang dan barang melewati lintas Rafah menuju Gaza sehingga lengkaplah upaya isolasi Gaza dari segala jurusan, baik darat, laut, maupun udara. Belakangan, sebagai reaksi pada tindakan brutal Israel terhadap Freedom Flotilla pada Mei yang lalu, lintas Rafah mulai dilonggarkan oleh Pemerintah Mesir.

Dalam konteks itu, Marzuki Alie, Ketua DPR bersama rombongannya, 29 Juni 2010, berhasil melewati pos perbatasan Rafah menuju Gaza City. Tidak lama meninggalkan desa perbatasan dijumpai jalan menyisir pantai yang sangat Indah. Panjangnya melebihi Pantai Copacabana sampai Ipanema di Rio de Janeiro, Brasil. Keindahan panorama pantai Gaza meski tidak dilatarbelakangi gunung tinggi memancarkan keteduhan pemandangan alamiah.

Krisis kemanusiaan

Kesan ini seketika terkoyak oleh gambaran Kamp Pengungsi Dir Balah yang menampung lebih dari 100.000 orang yang hidup saling berimpitan. Juga mengenaskan keadaan di Distrik Beit Lahiya, Gaza Utara, yang tampak kusam padat penduduk dan tempat Kamp Jabaliya berlokasi yang miskin fasilitas karena letaknya tidak jauh dari perbatasan dengan Israel. Mudah terlihat fakta kehancuran bangunan-bangunan pemerintah dan sipil seperti Gedung Departemen Luar Negeri dan Parlemen di pusat Gaza City akibat ledakan roket-roket yang diluncurkan Israel.

 Kondisi fisik ini sempurna menggambarkan penderitaan penduduk yang tinggal di jalur Gaza sepanjang 41 kilometer itu. Anak-anak bermain di siang hari di sepanjang jalan di pusat kota karena jumlah sekolah yang ada tidak mampu menampung mereka belajar. Pabrik-pabrik tutup akibat serangan roket dan blokade mendorong meningkatnya jumlah pengangguran. Akibatnya, kondisi ekonomi domestik di Gaza memburuk. Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) akibat blokade membuat banyak kendaraan bermotor tidak berfungsi sehingga terlihat banyak kereta- kereta ditarik keledai sebagai alat transpor di perkotaan.

Jumlah makanan, obat-obatan, dan alat-alat kedokteran menipis sehingga masalah kesehatan dan gizi buruk meluas di Gaza karena blokade telah mempersulit masuknya bahan-bahan vital tersebut. Bahan-bahan bangunan terhalang masuk sehingga plastik-plastik bekas dimanfaatkan sebagai pengganti genting atau atap di rumah-rumah sederhana. Sebagian besar keluarga di Gaza mengalami tingkat kemiskinan yang memprihatinkan.

Tampak jelas blokade di Gaza mengena langsung ke penduduk sipil, seperti anak-anak, ibu-ibu, dan penduduk usia lanjut. Oleh karena itu, masalah Gaza bukanlah masalah agama atau keamanan melainkan adalah masalah krisis kemanusiaan, masalah harkat hidup manusia, dan masalah hak-hak asasi manusia.

Fakta ini menyentuh rasa kemanusiaan serta solidaritas universal dan berhasil menggalang bantuan kemanusiaan sehingga mengalirkan bantuan berupa obatan-obatan, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya secara spontan. Masalahnya bagaimana bisa menyampaikan bantuan itu kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkan di Gaza? Berulang kali usaha memasukkan bahan- bahan makanan dan obat-obatan ke Gaza tidak berhasil memasuki gerbang perbatasan. Tampaknya, Israel bersikukuh melaksanakan blokadenya dan menutup rapat jalur darat, laut, dan udara ke Gaza sehingga satu-satunya jalur yang mungkin ditempuh hanyalah melalui Rafah, wilayah Mesir.

Gerakan kemanusiaan Viva Palestina berhasil memasukkan sejumlah obat-obatan pada 9 Maret 2009 melalui Rafah. Empat bulan sesudahnya, ratusan aktivis hak asasi manusia dari Amerika Serikat berhasil menyeberang ke jalur Gaza melalui Rafah dengan membawa bahan makanan di samping obat-obatan, dan pada awal tahun ini George Galloway bersama 528 aktivis dari 17 negara berhasil memasuki Gaza dengan membawa bantuan kemanusiaan. Malangnya, George Galloway akhirnya di-persona non grata-kan karena terlibat cekcok dengan petugas keamanan yang dekat dengan Mesir.

Terakhir, usaha mematahkan blokade Israel juga dilakukan oleh Kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan bersama Armada Pembebasan (Freedom Flotilla). Israel bereaksi keras dan telah menyerang, membunuh, dan menangkap anggota-anggota misi kemanusiaan itu termasuk Surya dan teman-temannya dari Indonesia sehingga misi kemanusiaan itu gagal mencapai tujuannya. Ini jelas merupakan agresi Israel terhadap konvoi bantuan kemanusiaan yang sama sekali tanpa persenjataan.

Peristiwa ini telah menunjukkan bahwa norma-norma global dan ketentuan-ketentuan hukum internasional, hukum laut, hukum humaniter internasional, dan hak asasi manusia telah dilanggar Israel. Adanya blokade dan pembiaran sehingga penduduk sipil Gaza terus mengalami penderitaannya adalah pelanggaran kemanusiaan yang serius (crime against humanity). Oleh karena itu, sangat wajar apabila Dewan HAM PBB memutuskan untuk membentuk Tim Pencari Fakta yang independen, dan hal ini senada dengan pernyataan Presiden Majelis Umum PBB, 31 Mei 2010. Laporan Goldstone, mekanisme khusus Dewan HAM PBB, yang berisi pengamatan langsung serta rekomendasinya perlu ditindaklanjuti untuk mengubah keadaan. Hanya usaha kemanusiaan bersama secara kolektif sajalah yang mampu menghentikan penderitaan bangsa Palestina di Gaza.

Perlu segera dicabut

Blokade yang menyengsarakan penduduk Gaza perlu segera dicabut dan semua perlintasan menuju Gaza harus dibuka secara permanen tanpa persyaratan apa pun. Dengan demikian, lalu lintas bantuan kemanusiaan berupa makanan, obatan-obatan, BBM dan bahan kebutuhan pokok lainnya dapat lancar memasuki Gaza. Kredibiltas norma-norma global dan wibawa hukum internasional saat ini sedang di ujung tanduk. Pilihannya jelas, apakah kita mulai bergerak bersama untuk menegakkan kembali panji- panji global governance dan hukum internasional sebagai kaidah hukum yang harus dipatuhi sesuai prinsip pacta sunt servanda? Ataukah kita memilih mencari jalan aman sambil melihat-lihat bagaimana perkembangan keadaan selanjutnya?

Mengatasi masalah kemanusiaan di Gaza tidak terlepas dari usaha mendapatkan pemecahan politik yang berkelanjutan di Palestina. Selama tangan-tangan asing masih terus campur tangan secara signifikan memengaruhi dinamika politik domestik di Palestina, selama itu pula penderitaan bangsa Palestina akan terus berlanjut. Oleh karena itu, satu-satunya jalan permanen menyelesaikan masalah Gaza dan bangsa Palestina adalah menghadirkan kemerdekaan negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya disertai integritas wilayah Palestina yang utuh.

Untuk mencapai maksud itu, perlu dilakukan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas secara sungguh-sungguh. Negara kebangsaan hanya mungkin dilahirkan apabila semua warga bangsa memiliki keinginan untuk hidup bersama. Ernest Renan menunjukkan kunci utama dari kebangsaan adalah le desire d’etre ensemble. Oleh karena itu, identitas nasional Palestina perlu disemarakkan. Masalahnya adalah bagaimana usaha mengembangkan identitas nasional dalam rangka nation-building bisa berhasil jikalau interaksi antara penduduk Palestina di Gaza dengan penduduk Palestina di Tepi Barat ditutup jalur komunikasi dan transportasinya.

Rasa kebangsaan hanya bisa dibangun kuat apabila terjadi hubungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik antarwarga bangsa dengan intensitas tinggi. Oleh karena itu, Indonesia bersama- sama dengan negara-negara Gerakan Non-Blok dan negara-negara Organisasi Konferensi Islam perlu bersama-sama membantu mencabut blokade yang memecah belah bangsa Palestina.

Kalau dahulu kebijaksanaan apartheid di Afrika Selatan yang sempat memenjarakan Nelson Mandela bersama teman seperjuangannya lebih dari satu dekade dapat dihapuskan bersama, mengapa blokade Gaza saat ini tidak bisa dicabut? Tentu bisa. Hanya perlu pendekatan politik ke Mesir, Israel, dan Kelompok 4 yang telah mensponsori peta jalan damai. Resepnya adalah rasa kebangsaan Palestina yang cinta damai perlu ditonjolkan.

Mengenai hal ini, George Santayana menulis, ”Our nationality is like our relations to women: too implicated in our moral nature to be changed honorably, and too accidental to be worth changing”.

Makarim Wibisono Anggota Rombongan Ketua DPR ke Gaza

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com