Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diperlukan Waktu untuk Sembuhkan "Luka"

Kompas.com - 23/05/2010, 06:21 WIB

KOMPAS.com - Ketika pada akhirnya Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva, 19 Mei lalu, memutuskan untuk mengambil jalan kekerasan untuk menangani para demonstran yang akrab dipanggil dengan nama ”Kaus Merah”, pertanyaan yang segera menyeruak adalah mengapa menunggu begitu lama?

Jika akhirnya tindakan kekerasan yang dipilih, bukankah lebih mudah, atau lebih baik, apabila tindakan itu diambil pada saat para demonstran belum sempat membangun kekuatan. Seandainya dilakukan lebih awal, korban tewas bisa dipastikan tidak sebanyak itu (52 orang tewas dalam enam hari), dan kerusakan infrastruktur pun tidaklah sebesar itu (39 gedung musnah terbakar pada 19 Mei).

Para demonstran antipemerintah, yang mendukung mantan PM Thaksin Shinawatra, mulai memasuki Bangkok, Jumat, 12 Maret. Mereka berniat menggelar protes besar pada hari Minggu untuk menuntut PM Abhisit mundur dan menggelar pemilihan umum dini. Protes itu digelar hanya dua pekan setelah Mahkamah Agung Thailand memutuskan untuk menyita kekayaan Thaksin senilai 1,4 miliar dollar AS.

”Saya menawarkan dukungan moral bagi kelompok Kaus Merah yang berkorban dan keluar untuk mencatat sejarah,” kata Thaksin, yang tinggal di pengasingan, di situs jejaring sosial Twitter.

Hasilnya, puluhan ribu orang meninggalkan pedesaan menuju Bangkok untuk bergabung dengan puluhan ribu pendukung lainnya, dan Minggu (14/3/2010) sekitar 150.000 orang berdemonstrasi di Bangkok.

Aksi tersebut merupakan babak terbaru dari krisis politik yang terus membayang-bayangi Thailand sejak Thaksin digulingkan melalui kudeta militer, 19 September 2006. Bahkan, awal April lalu, ribuan pengunjuk rasa menduduki jantung perdagangan di Bangkok, dan memaksa sejumlah pusat perbelanjaan besar tutup. Mereka mengatakan akan terus mendudukinya sampai PM Abhisit membubarkan Parlemen dan menggelar pemilu.

Banyak yang mempertanyakan, mengapa Abhisit tidak bertindak tegas? Malah, ada kesan PM Abhisit membiarkan aksi- aksi para demonstran itu berkepanjangan.

Namun, ada sejumlah analis yang melihat bahwa keragu-raguan PM Abhisit dalam menindak tegas para demonstran itu karena ia tidak yakin bahwa militer 100 persen berada di belakangnya. Kendati sejak awal menduduki jabatan PM, Abhisit Vejjajiva selalu disebutkan mendapatkan dukungan dari militer, tetapi tidak sedikit pula yang menyakini bahwa militer mempunyai agenda tersendiri.

Bukan itu saja, ada sejumlah personel militer yang terang- terangan mendukung demonstran pro-Thaksin. Itu sebabnya, ada analis yang menyebutkan, militer di Thailand mirip semangka, hijau di luar, tetapi dalamnya merah.

Di tengah keragu-raguan PM Abhisit untuk menindak tegas demonstran yang jelas-jelas mengganggu perekonomian Thailand, banyak yang berharap Raja Thailand Bhumibol Adulyadej muncul dan menyelesaikan krisis yang telah berlangsung lebih dari satu bulan itu.

Namun, kesehatan Raja yang berusia 82 tahun itu tidak memungkinkannya untuk melakukan itu. Raja akhirnya muncul di hadapan publik pada 26 April, tetapi Raja tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang krisis politik yang melanda negerinya.

Tidak munculnya Raja Bhumibol Adulyadej sebagai penengah yang dipercaya membuat militer (dalam hal ini Angkatan Darat) tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mengukuhkan posisi mendukung PM Abhisit Vejjajiva. Sehari sebelum Raja muncul di hadapan publik, PM Abhisit dan Panglima AD Jenderal Anupong Paochinda tampil bersama di televisi.

Dalam kesempatan itu, PM Abhisit menegaskan, pemerintah tak akan tunduk pada tuntutan demonstran jalanan, dan membantah adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dan militer.

Sejak itu, PM Abhisit Vejjajiva mengambil sikap yang lebih tegas terhadap para demonstran. Namun, untuk menerapkannya di lapangan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain jumlah pendemo banyak, mereka pun sudah membangun barikade di ruas-ruas jalan yang beberapa minggu terakhir dikuasai.

Belum lagi, di antara para demonstran terdapat sejumlah personel militer pro-Thaksin. Mayor Jenderal Khattiya Sawasdipol alias Seh Daeng yang tewas di rumah sakit, 13 Mei lalu, merupakan salah satu di antaranya. Ia tewas setelah dirawat karena mengalami luka tembak di kepala saat berbicara kepada sejumlah wartawan.

Kaus Merah menuding tembakan dilakukan oleh tentara terlatih, tetapi militer menyangkal tudingan tersebut.

Insiden itu menaikkan tingkatan konflik yang hingga 17 Mei menyebabkan 36 orang tewas dan 266 orang cedera. Lontaran granat pun muncul dari kerumunan para demonstran, yang mengakibatkan sejumlah personel polisi tewas.

Tidak menunda-nunda lagi, tanggal 19 Mei lalu, militer mengerahkan panser dan tank untuk merusak barikade ban dan bambu yang dijadikan markas para demonstran Kaus Merah. Para demonstran berhamburan keluar dan menyelamatkan diri. Sebagian dari mereka, dengan perasaan marah, membakar gedung-gedung baik itu pusat perbelanjaan, kantor, maupun bank. Asap hitam pekat membubung tinggi di atas Bangkok.

Malam harinya, militer menguasai Bangkok. Militer kemudian memberlakukan jam malam untuk tiga hari ke depan guna memulihkan kembali keamanan di Bangkok. Para demonstran dipulangkan dengan menggunakan bus ke daerahnya masing-masing.

Para demonstran memang telah dipulangkan kembali ke kampung halamannya, tetapi diperlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan ”luka-luka” yang ditimbulkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mereka. Namun, yang juga tidak dapat dilupakan adalah masyarakat perkotaan pun menyimpan ketidaksukaan terhadap kelompok Kaus Merah akibat kerusakan dan kerugian yang mereka timbulkan.

Di samping itu, ada masalah yang lebih serius yang harus dicermati dari peristiwa ini, yakni siapa yang akan mengontrol militer dengan persenjataan yang mereka miliki. Sebab, dengan keberhasilan menyingkirkan Kaus Merah, militer seakan-akan disadarkan kembali akan kekuatan yang mereka miliki. Selama ini, militer berada di bawah kendali Raja, tetapi dengan semakin lanjutnya usia dan semakin memburuknya kesehatan Raja, hal ini perlu serius dipikirkan.

Pemilu bukan yang terbaik

Mengadakan pemilihan umum dalam waktu dekat bukanlah jalan keluar yang baik, kecuali jika pemerintah termasuk Raja siap menerima bahwa kelompok Thaksin keluar sebagai pemenang pemilu kembali. Ketika dalam pemilu 23 Desember 2007, sekutu Thaksin, Samak Sundaravej, menang dan menjadi PM, tampak jelas bahwa elite Thailand dan Raja tidak siap dengan itu. Mereka mencoba berbagai cara untuk menyingkirkan Samak.

Jangan lupa, kudeta terhadap PM Thaksin Shinawatra yang dilakukan militer atas restu Raja Bhumibol Adulyadej pada tanggal 19 September 2006 dianggap banyak orang sebagai kejahatan yang perlu dilakukan (a necessary evil). Mengingat pada saat itu, baik secara politik maupun demokratis, Thaksin tidak mungkin dimundurkan.

Thaksin meraih suara mayoritas mutlak dalam pemilu yang sarat dengan politik uang. Dan, karena meraih suara mayoritas mutlak dalam pemilu, Thaksin dengan sendirinya mendominasi kursi di Majelis Rendah (house of representatives). Hal itu membuat Thaksin tidak mungkin dipaksa mundur melalui mosi tidak percaya ataupun melalui pemilu.

Ketidaksukaan elite Thailand, termasuk juga Raja Bhumibol Adulyadej, terhadap Thaksin karena berbagai alasan, mulai dari korupsi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang, perdagangan bebas, membatasi kebebasan pers, sampai kebijakan yang diambilnya terhadap penduduk Muslim di bagian selatan Thailand.

Namun, keberhasilan meningkatkan taraf hidup rakyat, khususnya di pedesaan, dalam periode pertama pemerintahannya (2001-2005) membuat Thaksin sangat populer.

Itu sebabnya, kudeta menjadi satu-satunya pilihan. Thaksin pun digantikan oleh Panglima AD Jenderal Sonthi Boonyaratkalin yang diangkat menjadi PM sementara. Agar ketidaksukaan terhadap militer tak meluas, 1 Oktober 2006, dua pekan sesudah kudeta, militer mengangkat mantan Panglima AD Thailand Jenderal (Purn) Surayud Chulanont sebagai PM sementara.

Pemilu akhirnya diselenggarakan pada 23 Desember 2007, dan sekutu Thaksin, Samak Sundaravej, Ketua Partai Kekuatan Rakyat, berhasil meraih 278 kursi dari 480 kursi di Majelis Rendah. Ia mengalahkan lawannya, Abhisit Vejjajiva, Ketua Partai Demokrat, yang didukung militer. Hasil pemilu tersebut menunjukkan bahwa Thaksin masih sangat populer.

Samak Sundaravej, yang kemudian menjadi PM Thailand, melakukan kesalahan fatal ketika ia mengungkapkan tekad akan membawa Thaksin Shinawatra pulang. Dorongan dari elite perkotaan untuk memundurkan PM Samak pun mulai bermunculan. Pada pertengahan September 2008 ia digantikan oleh PM Somchai Wongsawat.

Namun, satu bulan kemudian, ia mulai didesak untuk mundur. PM Somchai kemudian digantikan oleh Abhisit Vejjajiva, yang mendapatkan dukungan anggota Majelis Rendah. Akan tetapi, PM Abhisit pun tidak bisa tenang karena rongrongan dari demonstran pro- Thaksin yang tidak ada habis-habisnya. (JL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com