Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Bertegur Sapa Melalui Sepeda...

Kompas.com - 10/05/2010, 11:58 WIB

Sebagai moda transportasi, sepeda menawarkan lebih dari sekadar jaminan kesehatan dan pengiritan biaya. Mengayuh kereta angin juga bisa menipiskan sekat-sekat sosial antara warga satu dengan warga lain. Setelah terbelenggu dengan rutinitas kerja sehari-hari, warga bisa melebur dan saling bertegur sapa melalui sepeda.

Hal itu, misalnya, bisa dirasakan ketika sesama pesepeda berpapasan di jalan. Tanpa dikomando, senyum pun mengembang dan sapaan terlontar. "Kring..., kring.... Mari, Mbak," demikian kiranya. Jika melihat seorang pesepeda sedang kepayahan, tidak jarang pesepeda lain berhenti untuk memberi semangat. Jika tidak, mereka bisa terus melaju dengan berkata, "Ayo, Mbak, sedikit lagi sampai kok."

Sentuhan personal semacam itu tidak pernah didapatkan warga kota ketika mengendarai sepeda motor, mobil, atau angkutan umum lain. Dengan roda-rodanya, kendaraan itu membawa serta manusia di atasnya dengan satu niatan: cepat sampai tujuan. Lalu, bagaimana dengan orang lain? Ah, peduli amat!

Nuansa semacam itu membuat pelanggaran lalu lintas terus terjadi di jalanan Kota Kembang. Kemacetan mengepung Bandung. Pengendara sepeda motor yang tak sabar nekat menerabas trotoar dan lampu merah pun dilanggar. Pengemudi mobil yang jengkel berlomba membunyikan klakson. Bandung menjadi bising, panas, dan egois.

Keramahan berkendara sebagaimana dirasakan pesepeda membuat Yovi Ridwanto (28), warga Arcamanik, cinta mati pada moda transportasi satu ini. "Saya suka bersepeda karena bisa menambah teman. Meskipun sering kali tidak mengenal satu sama lain, sesama pesepeda bisa sangat ramah. Walau tidak kenal dekat, kami bisa saling bertukar pikiran tentang banyak hal," ujarnya, Minggu (9/5).

Teman Yovi pun bervariasi dan berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada guru, dokter, advokat, pegiat lembaga swadaya masyarakat, pegawai swasta, pegawai negeri, orang-orang yang sekadar hobi, dan masih banyak lagi. Saat bersepeda, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, serta sekat identitas sosial lain, termasuk suku dan agama, menjadi lebur. Lebih dihargai

"Saya malah merasa lebih dihargai ketika mengendarai sepeda. Misalnya, ketika bersepeda ke pedalaman Lembang, saya mudah mendapatkan bantuan warga sekitar. Kesannya mereka lebih ramah kepada pesepeda dibandingkan kepada pengendara sepeda motor. Saya sering ditawari mampir atau istirahat," ujarnya tersenyum.

Setelah 15 tahun bersepeda, Yovi semakin teguh bahwa sepeda bukan hanya sarana rekreasi atau olahraga. Bagi dia dan pesepeda lain, sepeda juga merupakan sarana sosialisasi, integrasi, dan agregasi sosial.

Keberadaan jalur sepeda (bike lane) yang akan dibangun Pemerintah Kota Bandung, menurut Dewi Gilang Kurnia (36), pesepeda lain, adalah kesempatan untuk menjaring lebih banyak warga merasakan kehangatan sosial. "Selama ini warga belum nyaman bersepeda karena kondisi jalanan dipadati kendaraan bermotor," ujarnya.

Dewi membayangkan Bandung yang bebas macet dan ramah lingkungan dengan makin banyaknya warga bersepeda. Jika waktu itu tiba, sepeda sudah barang tentu menjadi moda transportasi yang terintegrasi dengan moda lain. Pesepeda tidak lagi terdiskriminasi oleh bunyi klakson dan ancaman tabrakan lari. Semoga.... (RINI KUSTIASIH)  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com