Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belgia Pelopori Pelarangan "Burqa"

Kompas.com - 05/04/2010, 04:09 WIB

Perlawanan masyarakat Eropa terhadap simbol-simbol yang mereka persepsikan sebagai simbol garis keras Islam terus bergulir. Atas alasan keamanan dan masyarakat yang terbuka, penggunaan jilbab (kain penutup bagian kepala terkecuali wajah) di institusi publik dilarang.

Setelah Perancis, Inggris, dan Belanda melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, pada pertengahan pekan lalu parlemen Belgia memulai upaya untuk pelarangan memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh, dari kepala hingga kaki (terkecuali mata) atau biasa disebut burqa, dan kain khusus penutup seluruh wajah atau niqab.

Sebuah komite parlemen Belgia, Rabu (31/3), dengan suara bulat menyetujui rancangan undang-undang (RUU) mengenai larangan penggunaan burqa dan niqab di ruang publik. Meski demikian, RUU itu belum akan berlaku karena masih harus diputuskan seluruh anggota parlemen Belgia pada 22 April mendatang.

Meski belum sepenuhnya berlaku, hasil pemungutan suara di Komite Urusan Dalam Negeri Parlemen itu memberikan indikasi kuat bakal lolosnya RUU pelarangan mengenakan burqa di publik itu. Hal itu akan membuat Belgia menjadi negara Eropa pertama yang menerapkan pelarangan burqa.

”Ini adalah sebuah sinyal yang sangat kuat yang dikirimkan kepada kelompok garis keras Islam,” ungkap Wakil Ketua Kelompok Liberal Denis Ducarme di majelis di Brussels.

Para anggota parlemen Belgia yang mendukung RUU itu menilai, pakaian yang menutup semua badan, termasuk wajah, berpotensi menimbulkan masalah keamanan dan juga mengancam nilai-nilai demokrasi. Di sisi lain, banyak orang mengkhawatirkan aturan hukum pelarangan itu tidak akan mampu mengatasi tuntutan keberatan secara hukum.

”Kita tidak boleh membiarkan seseorang mengklaim hak untuk melihat orang lain, padahal dirinya sendiri tidak bisa dilihat. Sangat diperlukan adanya hukum yang melarang pemakaian pakaian yang seluruhnya menutupi wajah dan menutup seorang individu,” ungkap Daniel Bacquelaine, salah seorang anggota parlemen pengusul RUU itu.

Meski demikian, dia menegaskan, rancangan peraturan itu tidak akan menjadikan jilbab yang biasa digunakan banyak perempuan Muslim sebagai target pelarangan.

Sebelum berkembang

Belgia memiliki jumlah populasi warga Muslim sekitar 650.000 orang atau 6,0 persen dari keseluruhan populasi warga negara itu. Meski dalam RUU tidak secara khusus disebutkan burqa dan niqab, dalam RUU itu dengan tegas disebutkan adalah ilegal bagi siapa pun untuk mengenakan pakaian yang menutupi seluruh atau sebagian besar bagian wajah di depan publik. Bagi pelanggarnya, dalam RUU dicantumkan ancaman hukuman satu minggu di penjara atau denda uang yang tidak disebutkan jumlahnya.

Para anggota parlemen Belgia secara khusus memang menjadikan burqa dan niqab penutup wajah sebagai target. Kedua pakaian itu masih jarang ditemui di depan umum di Belgia. ”Kami harus bertindak mulai sekarang untuk menghindari perkembangan (pemakaian Burqa) itu. Mengenakan burqa di ruang publik tidak sejalan dengan sebuah masyarakat yang terbuka, liberal dan toleran,” tambah Bacquelaine yang mempersamakan burqa dengan sebuah penjara berjalan bagi perempuan.

Jika pada pemungutan suara di keseluruhan parlemen pada 22 April, parlemen menyetujui RUU tersebut, maka undang-undang pelarangan pemakaian Burqa di Belgia itu akan berlaku sekitar akhir Juni atau awal Juli 2010.

Ducarme secara pribadi bangga bahwa Belgia akan menjadi negara Eropa pertama yang berani melegislasikan masalah yang sensitif itu. Dia mengatakan, Belgia tidak ingin mengikuti ”contoh buruk” Inggris dan Belanda, di mana banyak warga Muslim tinggal dalam komunitas terpisah.

Keputusan Belgia itu tentu akan semakin mendorong debat mengenai pelarangan burqa di Perancis, Swiss, dan Italia.

Namun, di sisi lain, beberapa negara di Eropa juga telah memberlakukan pelarangan penggunaan aksesori keagamaan bagi pihak non-Muslim. Beberapa tahun lalu, sekolah-sekolah publik di Perancis melarang penggunaan kippa, penutup kepala, yang biasa dipakai Yahudi, atau atribut agama Kristen lainnya. Italia juga menuai kemarahan dari pihak Katolik karena dianggap tidak menghormati mayoritas dengan pelarangan atribut agama di sekolah publik. (AP/AFP/Rakaryan S)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com