Hal itu dikatakan putri ketiga Gus Dur, Anita Hayatunnufus, pada peringatan tujuh hari meninggalnya Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, Selasa (5/1/2010). Hadir dalam acara itu, antara lain, ribuan warga, ulama, mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam.
Warga yang hadir memenuhi halaman kediaman Gus Dur, Pesantren Ciganjur, dan Masjid Al Munawwaroh. Mereka duduk bersila bersama, tanpa dibedakan pangkat dan status sosialnya.
Peringatan dan tahlilan mengenang tujuh hari wafatnya Gus Dur juga dilangsungkan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa. Sejak pukul 15.00, ribuan orang datang dengan beragam kendaraan dan memacetkan akses jalan menuju pondok pesantren itu.
Dalam pesantren, petugas berulang kali berupaya menertibkan pengunjung yang hendak mendekati makam Gus Dur. Dua layar besar memproyeksikan tahlilan di Maqbarah (Pemakaman) Tebuireng dipasang di dua titik dalam pesantren. Televisi juga dipasang dalam Masjid Kasepuhan Tebuireng.
Doa bersama digelar pula di sejumlah daerah, seperti di Semarang (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat). Doa itu dilakukan secara lintas agama dan suku, termasuk yang dilakukan oleh warga minoritas.
Menurut Anita, keluarga menyadari Gus Dur bukan hanya milik keluarga, tetapi juga milik masyarakat dan bangsa. Masyarakat merasa kehilangan yang sama seperti keluarga. Kecintaan masyarakat kepada Gus Dur bukan karena harta atau jabatannya, tetapi karena kecintaan dan keikhlasannya berjuang untuk umat manusia, perdamaian, dan kaum minoritas yang tertindas.
”Sikap itu yang membuat ketika Bapak (Gus Dur) diturunkan dari Presiden menjadi bukan hal yang sulit. Gus Dur berjuang untuk rakyat. Bukan untuk jabatan,” katanya.
Meninggalnya Gus Dur, lanjut Anita, menegaskan bahwa berbagai persoalan bangsa tak bisa dibebankan kepada Gus Dur saja. Sekarang seluruh elemen bangsa harus menanggung bersama berbagai persoalan bangsa.
Peringatan tujuh hari meninggalnya Gus Dur juga diwarnai testimoni dari mereka yang dekat dengan Gus Dur, termasuk Jusuf Kalla, dan doa lintas agama.
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yang memimpin shalawat dan memberi taushiyah soal Gus Dur di Jombang, berulang kali menyebutkan betapa bangga Indonesia memiliki Gus Dur. Cak Nun tampil pada pukul 16.00 dan pukul 21.00.
Sambutan keluarga dibacakan Pengasuh Ponpes Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) dan putri kedua Gus Dur, Zannuba Arifah C (Yenny Wahid). Cak Nun berulang kali menyatakan kagum soal jumlah orang yang melepas kepergian Gus Dur.