Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chavez, Morales, Correa, Ortega, dan Siapa Lagi?

Kompas.com - 25/11/2009, 08:29 WIB

Oleh TRIAS KUNCAHYONO

KOMPAS.com - Hugo Chavez, Evo Morales, dan Rafael Correa telah berhasil ”menyiasati” konstitusi negara masing-masing—Venezuela, Bolivia, dan Ekuador—untuk memperpanjang masa kekuasaan. Alasan mereka klasik: demi stabilitas dan kesinambungan pembangunan untuk rakyat!

Ada rakyat yang terbuai, terbius, dan mendukung penghapusan pembatasan masa jabatan yang tertulis dalam konstitusi. Akan tetapi, ada juga yang menentang ”akal-akalan” tiga presiden itu. Mereka berpendapat yang dilakukan ketiga presiden itu tidak demokratis dan berbahaya bagi demokrasi. Bila dibiarkan, negara akan kembali terlempar ke masa lalu, ketika negara dikuasai oleh para caudillos, diktator dan orang kuat.

Istilah caudillos muncul pada awal abad ke-19 saat gerakan kemerdekaan Amerika Latin mulai bergelora. Gelombang gerakan kemerdekaan membuat wilayah itu secara politik tidak stabil.

Lamanya konflik bersenjata mendorong munculnya orang-orang kuat di negara-negara baru yang lepas dari kaum penjajah. Mereka inilah cikal bakal caudillos.

Negara-negara di kawasan Amerika Latin lepas dari pemerintahan diktator militer pada dekade 1980-an. Mereka juga menyusun konstitusi baru yang membatasi masa jabatan presiden, yang kini diterjang. Chavez mengatakan, jabatan dua kali presiden tidak cukup untuk menyelesaikan ”revolusi sosialis Venezuela.”

Morales mengikuti langkah Chavez, demikian pula Correa. Kini, Presiden Nikaragua Daniel Ortega mengikuti langkah Chavez, Morales, dan Correa. Majelis Nasional sudah menghadang usaha Ortega. Mereka berpendapat masa jabatan presiden harus dibatasi mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan lahirnya diktator, lahirnya caudillos lagi.

Namun, jalan lapang diberikan Mahkamah Agung kepada Ortega. Terbukalah kini kesempatan bagi Ortega untuk terus memegang kekuasaan karena diperbolehkan mengikuti lagi pemilu pada tahun 2011 meski harga yang harus dibayar Ortega sangat mahal, yakni pecahnya masyarakat.

Kekuasaan membutakan

Mengapa mereka begitu bernafsu mempertahankan kekuasaan? Franz Magnis-Suseno menulis, ”Sejak semula kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus mempesona dan menakutkan” (Kuasa dan Moral, 2000).

Kekuasaan memberikan kenikmatan, privilege, dan hak-hak istimewa, yang justru sering membuat pemegang kekuasaan lupa diri. Lupa bahwa sebenarnya kekuasaan juga menuntut tanggung jawab. Ungkapan bahasa Perancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang percaya bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Itu yang semestinya dipegang oleh pengemban kekuasaan.

Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini, masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan, yang memegang teguh noblesse oblige. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar.

Akan tetapi, dalam praktiknya tidak jarang asas noblesse oblige diganti oleh prinsip power tends to corrupt, yaitu bahwa kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap kekuasaan. Ini adalah sisi yang menakutkan dari kekuasaan.

Yang banyak terjadi, memang, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengkritik dan mengawasi dirinya.

Saat itulah sang pemimpin lupa diri. Kedua kakinya tidak lagi menapak tanah. Ia berdiri di awang-awang dan hanya melihat dirinya sendiri.

Apa yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin memberikan gambaran yang jelas tentang hal itu. Chavez, Morales, Correa, Ortega, dan entah siapa lagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com