Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Pelopori Pembuatan Hukum Internasional Perlindungan Kekayaan Budaya

Kompas.com - 01/09/2009, 14:03 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com--Beberapa minggu belakangan ini kita disibukkan dengan polemik hak kekayaan intelektual tatkala Malaysia diduga mengklaim budaya kita secara terbuka.

Namun ada beberapa hal yang perlu diluruskan supaya polemik ini tetap berjalan di arus yang benar. "Ada kepanikan di publik terkait soal kekayaan budaya," kata Arif Havas Oegroseno, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (1/9).

Menurut Havas, dalam hak kekayaan intelektual ada yang bersifat pribadi dan komunal. Yang pribadi memiliki batas waktunya, yakni 50 tahun setelah si pencipta meninggal. "Nah, kalau kita mengajukan hak cipta tari Pendet, yang katanya penciptanya meninggal pada 1967, maka setelah batas waktu berakhir, tari tersebut bebas diklaim orang," papar Havas.

Namun sayangnya, ia melanjutkan, sampai saat ini belum ada payung hukum internasional yang melindungi hak kekayaan intektual secara komunal atau budaya. Ada usaha dunia internasional di bawah PBB untuk memmbuatnya, tapi dipastikan gagal. "Oleh karena itu, Indonesia dan Afrika Selatan buat kesepakatan untuk membuat instrumen hukum internasional yang melindungi kekayaan budaya. Kami juga sosialisasikan kepada negara-negara lain yang berminat untuk bergabung," tuturnya.

Ini tidak sekadar wacana, karena besok (2/9) di Yogyakarta, Indonesia dan Afrika Selatan dan beberapa negara akan membuat draf instrumen hukum internasional untuk perlindungan budaya, ekspresi budaya tradisional dan pengetahun budaya tradisional. "Lalu semester tahun depan akan diadakan diplomatic conference pertama di Indonesia lalu yang kedua di Afsel di semester kedua. Dan semoga tahun berikutnya kita sudah mempunyai instrumen hukumnya," ucap Havas.

Lebih jauh, ia mengangkat kesalahpahaman lain. Kita kerap mendengar bahwa budaya kesenian kita harus segera dipatenkan supaya tidak diklaim negara lain. "Ini keliru. Tidak ada paten budaya karena itu terminologi hukum. Paten hanya untuk hak cipta teknologi," ujarnya. Kemudian, kita juga mendengar ada pihak yang akan mendaftarkan alat musik Angklung ke UNESCO. "Kalau ke UNESCO artinya angklung malah jadi warisan semua bangsa, justru tidak jadi milik kita. Karena sifatnya UNESCO untuk pelestarian budaya," demikian Arif Havas Oegroseno.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com