Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika PSK Menggugat Makna Kemerdekaan

Kompas.com - 18/08/2009, 07:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat, tidak pernah tertidur. Setiap saat ada pergerakan, "hitam" memengaruhi "putih" dan "putih" mencoba merasuk dalam dunia "hitam". Satu sisi para pekerja seks komersial (PSK) terus beroperasi dengan dukungan preman setempat, tetapi di sisi lain pergerakan dakwah tak mau kalah. Keduanya "bertarung" dalam kerasnya tuntutan untuk bertahan hidup.

Adakah teriakan "Merdeka!!!" di sana sebagaimana didengungkan di Istana Negara, departemen-departemen, dan prosesi kemerdekaan di banyak tempat? Yang ada adalah pertaruhan hidup seperti yang dirasakan Nina (28), bukan nama sebenarnya, PSK yang harus menghidupi 9 anak, 1 suami, dan 2 orangtuanya. "Anak terakhir teteh baru delapan bulan. Tadi seharian ngurus dia, jadi tidak sempat lihat perayaan 17-an," katanya kepada Kompas.com, Senin (17/8).

Menurut Nina—yang malam itu tampak anggun dengan kaus putih dipadu sweater hitam—kita baru merdeka dari penjajah negara asing. Namun, belum merdeka dari kehidupan, terutama untuk rakyat kecil dan miskin seperti dirinya. "Coba lihat, teteh juga ibu rumah tangga. Untuk sembako berat. Mencarikan kerja untuk suami susah. Kalau tidak kelayapan susah. Mau dagang pajaknya gede," tutur perempuan yang menyebut dirinya teteh.

Kehidupanlah yang memilihkan hidupnya. Keadaanlah yang tidak memerdekakan dirinya untuk memilih. "Teteh kalau disuruh memilih tidak mau hidup seperti ini. Teteh maunya bener. Gak mau teteh ngelakuin-nya. Tapi, faktor ekonomilah yang memaksa teteh seperti ini. Masak sih tanpa seperti ini terus bisa makan," ungkapnya dengan lirih. Matanya mulai berair membasahi eye shadow dan bedak tipis yang memulas pipi putihnya.

Petualangan hitam Nina berawal di Kramat Tunggak saat umurnya sekitar 17 tahun. Perempuan yang memiliki tinggi sekitar 155 sentimeter itu datang pertama kali di daerah Cakung dari Pandeglang, Banten, daerah asalnya. Setamat sekolah ia bekerja di pabrik sepatu. Namun, tak lama waktu berselang, api menghanguskan tempat ia bekerja. Asanya pun menyurut. Saat itu, perempuan manis yang kerap mangkal di pinggir Jalan Jati Bunder, Tanah Abang, ini sudah memiliki tanggungan ekonomi untuk satu anaknya dan kedua orangtuanya.

"Akhirnya, teteh dibawa teman. Katanya, kalau mau kerja nurut aja, enak, dan cepat dapat uang. Saat itu belum tahu ini tidak bagus, berdosa. Masih lugu, tidak tahu. Itulah kali pertama kali teteh tercebur di Kramat Tunggak," katanya. Selanjutnya, Nina bercerai dengan suami pertamanya. Ia mengaku, alasan perceraian itu karena mereka menikah terlalu dini dan dijodohkan.

Hari terus bergulir, Nina dipertemukan dengan seorang laki-laki Sragen yang berprofesi tentara. Ternyata perkawinan kedua juga kandas karena sang pujaan hati telah memiliki istri. "Saya merasa ditipu. Usianya jauh lebih tua. Saya itu seanaknya dia," tutur Nina. Sampai pada titik ini, ia tetap tegar. Dilangkahkan kakinya menyeberang pulau untuk bekerja di Dumai Riau sebagai pelayan sebuah rumah makan. Lalu, ke Batam jadi pekerja di sebuah hotel. Kemudian, ia pulang sebentar dan memutuskan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Bekasi.

"Eh, di situ teteh malah mau diperkosa sama bapak (pemilik rumah). Teteh keluar setelah dua bulan bekerja," paparnya. Kisah cinta perempuan yang gemar memakai alas kaki berhak tinggi berlanjut. Kali ini hatinya tertambat kepada seorang laki-laki asal Indramayu. Bersamanya ia berharap bisa mengangkat hidupnya yang mulai kelam. "Yang terjadi bukannya mengangkat, malah menjerumuskan hidup teteh. Berkali-kali ia bermain perempuan, berkali-kali pula teteh beri maaf, tapi tidak berubah. Bahkan, rumah dan motor dari hasil kerja teteh amblas karena dia ngutang sana-sini dengan jaminan rumah dan motor teteh," ungkapnya.

Tidak hanya itu, ia melanjutkan, suami ketiganya itu memaksanya untuk mencari uang. Malam hari mangkal di Tanjung Priok, Jakarta Utara, mulai jam 23.00, sedangkan siang harinya setelah mengurus anak-anak giliran mangkal di Tanah Abang. "Tidak ada istirahat. Paling cuma di kendaraan umum. Ini akibatnya," katanya sambil menunjuk bagian-bagian bawah kedua matanya. Tampak di sekitar matanya berwarna hitam dan memiliki kantong yang dalam, tanda ia kurang istirahat.

Selepas dari suami ketiga, kini Nina berada dalam rangkulan suami keempat. Menurut pengakuannya, kali ini ia mendapatkan pasangan yang lebih baik. Namun, tetap saja, ekonomi keluarga masih dibebankan kepadanya karena suaminya tidak bekerja. Padahal, dari perkawinan ini ia mendapat limpahan lima anak. "Karena umurnya mendekati 40 tahun, tidak mempunyai keahlian, tidak punya ijazah, dan sudah berusaha mencari kerja supaya tidak mengganggur, tetapi belum berhasil," ucapnya dengan nada rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com