Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengakui lemahnya peraturan sektor keuangan di AS memberi kontribusi pada krisis global. Kelemahan pengaturan itu membuat aksi spekulasi di sektor keuangan menjadi amat liar.
Sehari sebelumnya, Perancis dan Jerman mengancam tidak akan menandatangani komunike G-20 jika pengaturan sektor keuangan tidak dimasukkan. Kedua negara ini menilai bahwa krisis global dipicu liarnya sektor keuangan, bukan karena kurangnya stimulus ekonomi. Inggris dan AS, pusat dari pelaku aksi-aksi spekulasi, mendorong G-20 meningkatkan stimulus.
Hal ini membuat Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel berang. Mereka menilai, biang keladi krisis adalah aksi-aksi spekulasi di sektor keuangan yang memunculkan fenomena kanibal dan ”saling makan”.
Isu pengaturan sektor keuangan juga menjadi keinginan negara berkembang yang ada di G-20, termasuk Indonesia. Hal itu juga menjadi imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya meminta pencegahan kesalahan di sektor keuangan. Presiden mengatakan bahwa hal itu juga dia sampaikan di G-20, termasuk untuk mewakili kepentingan negara berkembang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dalam pembahasan di pertemuan G-20 terjadi semacam ”rekonsiliasi” di antara para anggota soal pentingnya stimulus dan pengetatan regulasi keuangan.
Terkait dengan reformasi institusi keuangan global, Sri Mulyani mengatakan, suara Indonesia didengar karena memiliki pengalaman krisis 1997/1998. ”Pandangan Indonesia mengenai apa yang harus dikoreksi dari IMF dan Bank Dunia didengarkan dan telah ada perubahan fundamental operasi,” ujarnya.
Oleh banyak negara, IMF dan Bank Dunia dianggap sebagai beban, bukan solusi.
Menkeu juga mengatakan, pada pertemuan G-20, Indonesia memunculkan isu soal pentingnya dukungan dana bagi negara berkembang dan miskin yang terkena krisis. ”Pihak Eropa mengatakan, negara berkembang menjadi korban krisis yang bukan karena kesalahan sendiri. G-20 menilai, negara korban ini wajib dibantu,” ungkapnya.