Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Sawit Kesulitan Bayar Angsuran Kredit

Kompas.com - 28/10/2008, 17:44 WIB

MUARA ENIM, SELASA - Dampak anjloknya harga kelapa sawit hingga Rp 400-500 per kilogram mulai terasa. Di sentra perkebunan kelapa sawit Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, sebagian petani nonplasma atau noninti mulai kesulitan membayar angsuran kredit karena pendapatan bulanan berkurang.

Pantauan Kompas, Selasa (28/10), sebagian petani di Kecamatan Rambang Dangku, Muara Enim, Gunung Megang, dan Gelumbang saat ini sedang memanen sawitnya. Di tingkat petani noninti atau nonplasma, harga jual di pasaran masih anjlok jadi Rp 400-500 per kilogram. Sebelumnya, harga sawit berada di kisaran Rp 1.000-1.150 per kilogram.

Menurut Agus Wahab (39), Anggota Kelompok Petani Sawit Desa Rambang Dangku Dalam, anjloknya harga sawit kali ini menurunkan pendapatannya. Dalam sekali panen, Agus biasanya mendapatkan hasil Rp 9-10 juta dengan asumsi bahwa harga jual masih di kisaran Rp 500 per kilogramnya. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama lima-enam bulan ke depan sembari menunggu panen lagi. Namun karena harga sawit anjlok, pada panen sekarang penghasilan Agus turun menjadi sekitar Rp 5 juta. "Ini jelas memberatkan. Agar cukup, saya terpaksa menunggak dulu angsuran kredit motor dua bulan ini sambil menunggu pendapatan dari sawit normal lagi," kata Agus.

Sobari (29), petani sawit dari Desa Gunung Megang Luar menuturkan bahwa dampak anjloknya harga sawit mulai dirasakannya pada bulan ini, yang kebetulan memang merupakan panen ketiga atau panen akhir tahun. Pendapatan dari hasil menjual sawit saat ini turun sekitar 40 persen setiap kali panen. Karenanya, Sobari mesti menunda rencana untuk meremajakan sebagian pohon kelapa sawit di kebunnya. Uangnya digunakan untuk berkonsentrasi ke masalah pendidikan anak dan kebutuhan pangan keluarga.

Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumatera Selatan, Syamsir Syahbana, di Sumsel, dampak anjloknya harga sawit ini paling dirasakan oleh petani noninti atau nonplasma. Bagi petani yang terikat dengan sistem jual ke perusahaan atau petani plasma (inti), relatif lebih baik karena harga jualnya juga masih lebih baik.

Dari hasil pertemuan asosiasi pekan lalu, Syamsir menuturkan bahwa pihaknya menerapkan kebijakan standarisasi harga beli Rp 900 per kilogram bagi petani plasma. Kebijakan ini memang untuk mencegah keterpurukan petani plasma karena mereka adalah ujung tombak produksi bagi perusahaan pengolah CPO. "Konsekuensinya memang stok berlebih di perusahaan, namun ini lebih baik dengan pertimbangan tingkat keawetan dan prediksi segera normalnya permintaan pasar," katanya.

Bagi pemerintah, Syamsir menyarankan agar menerapkan kebijakan peningkatan penggunaan CPO di dalam negeri, terutama bagi industri hilir yang memproduksi mentega, minyak goreng, sabun, dan lainnya. Kebijakan ini akan mengurangi dampak negatif dari ketergantungan ekspor, seperti yang terjadi sekarang ini. "Bagi petani nonplasma, disarankan untuk sementara mencari peluang penjualan ke perusahaan dengan melakukan lobi. Jangan jual ke broker, karena mereka inilah yang juga memicu harga makin turun," ucap Syamsir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com