Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vietnam, Pasar Bayi Adopsi Bagi Keluarga Amerika

Kompas.com - 25/04/2008, 11:22 WIB

HANOI, JUMAT - Vietnam menjadi pasar murah bagi pedagang dan pembeli bayi, karena pemerintahnya gagal mengawasi sistem adopsi.

Temuan itu terungkap dalam dokumen setebal sembilan halaman yang dikeluarkan Kedutaan Besar AS di Vietnam. Dokumen itu menggambarkan para calo berburu bayi di desa-desa. Mereka juga menyisir ke rumah sakit yang menjual bayi yang ibunya tidak bisa membayar biaya perawatan. Mereka juga mencari kakek nenek yang menjual cucunya tanpa sepengetahuan si ibu.

"Saya sangat terguncang dan sedih melihat kasus-kasus terburuk dari yang buruk," ujar Jonathan Aloisi, wakil kepala misi di Kedubes AS di Hanoi, Kamis (24/4).

Vu Duc Long, Direktur Departemen Adopsi Internasional Vietnam menilai keprihatinan AS itu tidak berdasar. Ia mengatakan suap menyuap di kalangan pejabat panti asuhan mungkin terjadi. Namun, kata Vu, pelanggaran serius seperti penjualan atau penculikan bayi tidak ada.

Persoalan ini mengemuka setelah terjadi booming adopsi bayi Vietnam. Warga Amerika - termasuk aktris Angelina Jolie - telah mengadopsi lebih dari 1.200 bayi Vietnam usia di atas 18 bulan. Pada 2007, angka adopsi melonjak hingga 400 persen dibandingkan 2006, 828 bayi di antaranya diadopsi keluarga Amerika.

Ketika China dikenal secara internasional sebagai negara penyedia bayi adopsi, semakin banyak warga Amerika yang menoleh ke Vietnam karena aturannya lebih longgar. Di China izin adopsi butuh waktu lebih lama setelah ada pengetatan aturan.

Badan-badan adopsi AS di Vietnam mengakui, meski ada beberapa pelanggaran, sebagian besar adopsi di negara itu cukup etis. "Pengalaman kami selama ini baik. Kami prihatin praktik-praktik yang tidak etis, tetapi kami tidak sepakat kalau kasus-kasus seperti itu dijadikan indikasi adopsi di Vietnam," kata Susan Cox, Presiden Kebijakan Publik di Holt International Children's Service.

Lembaga adopsi lain, Families Thru International Adoption (FTIA) di Evansville Indiana AS mengatakan korupsi terjadi di mana-mana dan terserah lembaga-lembaga adopsi itu untuk memilih dengan siapa bekerja sama di Vietnam atau negara lain.

"Selalu saja ada orang yang mencoba melakukan sesuatu di bawah tangan, dan ketika ada anak-anak yang terlibat di dalamnya, hasilnya pasti lebih mengerikan," kata Salome Lamarche, Direktur Program FTIA.

"Sebagai sebuah lembaga, kami punya tanggung jawab untuk berhati-hati soal dengan siapa kami bekerja sama di sebuah negara dan hanya bekerja sama dengan organisasi-organisasi yang bekerja secara bertanggung jawab," imbuh Lamarche.

Perempuan itu mengatakan kelompoknya baru-baru ini berhenti menerima permohonan sejumlah keluarga yang mencari anak-anak Vietnam. Tetapi, kata Lamarche, kebijakan itu bukan karena khawatir soal korupsi.

"Kami stop karena daftar tunggu semakin panjang dan kami pikir tidak etis untuk menerima permohonan dari keluarga yang kami tidak bisa jamin bisa mendapatkan yang diinginkan," katanya menambahkan.

Pemerintah AS telah menghentikan semua adopsi dari Vietnam pada 2003 terkait masalah korupsi. Keran adopsi dibuka lagi pada 2006 berdasarkan kesepakatan bilateral. Kesepakatan ini akan berakhir 1 September 2008 dan kemungkinan akan diikuti penghentian proses adopsi.

Laporan Kedubes AS itu didasarkan pada peninjauan kembali ratusan adopsi yang terjadi sejak kesepakatan itu dimulai lagi pada 2006. Kekhawatiran Kedubes AS itu membuat sejumlah proses adopsi terkatung-katung, dan sejumlah keluarga Amerika menunggu izin bisa membawa pulang bayi itu dari Vietnam.

Victoria Krebs dari Chapel Hill North Carolina mengatakan, ia dan suaminya telah menunggu empat bulan turunnya visa untuk dua bayi perempuan yang akan diadopsinya. Mereka sudah punya foto kedua bayi itu dan merasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu. "Mereka tidak menjawab email saya. Saya punya informasi sedikit pun soal kasus ini," kata Krebs terkait upanya menghubungi pejabat imigrasi AS.

Penangguhan adopsi di Vietnam tidak hanya akan membuat bingung para keluarga Amerika, tetapi juga berpengaruh pada aksi kemanusiaan di Vietnam umumnya dibiayai lembaga-lembaga adopsi AS itu. Misalnya, tempat-tempat panampungan untuk menyatukan anak-anak dengan keluarganya.

Menurut Cox, hal itu terjadi ketika Amerika menghentikan program adopsi di Vietnam pada 2003. "Begitu tidak ada adopsi, lembaga-lembaga ini tidak akan punya alasan lagi untuk tinggal dan membantu," kata Cox.

Banyak orang yang terlibat dalam bisnis adopsi di Vietnam sangat patuh pada undang-undang adopsi AS, kata seorang pejabat AS. Namun banyak orang lain lagi yang menggelontor bisnis ini dengan uang tunai untuk memenuhi keinginan warga AS. Bagaimana tidak satu keluarga harus menyediakan 25.000 dolar atau sekitar Rp 230 juta untuk satu adopsi.

Dengan adanya 42 lembaga adopsi AS yang beroperasi di Vietnam, tentu persaingan menjadi semakin ketat. Beberapa badan diketahui telah membayar direktur panti asuhan 10.000 dolar atau sekitar Rp 92 juta untuk setiap anak. Sementara lembaga lainnya membawa direktur panti berbelanja dan berlibur di AS sebagai imbalan atas kelancaran penyaluran bayi.

Masih  menurut laporan itu, lembaga jasa adopsi melaporkan bahwa uang tunai atau sumbangan mereka telah dialihkan oleh para direktur itu untuk membiayai urusan pribadi seperti properti, mobil pribadi, perhiasan. Bahkan dalam satu kasus, uang itu dijadikan modal untuk bisnis real estate.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com